Pada akhir bulan Juli 2022, emiten keping birunya industri rokok, yaitu Hanjaya Mandala Sampoerna (HMSP) dan Gudang Garam (GGRM) merilis laporan keuangan untuk periode Q2-2022. Dan hasilnya laba kedua perusahaan tersebut turun cukup signifikan. Dalam hal ini, laba bersih HMSP lebih rendah 26,6% YoY, dari 4,1 triliun menjadi 3 triliun. Bahkan untuk GGRM, emiten mencetak rugi bersih 121 miliar untuk periode April – Juni. Berdasarkan pengamatan, laba HMSP saat ini setara dengan kinerjanya di tahun 2010 silam, dan untuk GGRM penulis terus terang tidak tahu kapan perusahaan terakhir pernah membukukan kerugian.
Well, mengutip petuah Warren Buffett yang pernah mengatakan “The best thing that happens to us is when a great company gets into temporary trouble, we want to buy them when they’re on the operating table.” Apakah HMSP dan GGRM masih memiliki fundamental yang superior? Bisakah perusahaan mengulang kembali masa kejayaannya, hingga mencapai kapitalisasi pasar 600 triliun untuk HMSP atau GGRM yang pernah dihargai hampir 200 triliun? Lalu bagaimana dengan industri rokok itu sendiri yang sejak tiga tahun terakhir, pemerintah terus menaikan cukai rokok secara substansial?
Pada artikel kali ini, kita akan coba menjawab hal-hal di atas dengan memahami industri rokok secara garis besar, dan sedikit mengulas fundamental serta valuasi HMSP dan GGRM. Mari kita mulai:
Cigarette Industry in Nusantara
Terdapat banyak sekali literasi terkait kapan mulanya manusia memanfaatkan tanaman tembakau untuk penggunaan obat-obatan, relaksasi, hingga ritual keagamaan. Mengutip Billing E.R dalam bukunya History of Tobacco, dipercaya tembakau pertama kali mulai berkembang pesat pada tahun 1492, yakni lebih dari lima abad yang lalu. Di mana Christopher Columbus ketika menjelajah ke benua Amerika, menemukan orang-orang Indian mengisap asap yang dihirup dari mulut dan hidung mereka yang berasal dari daun tembakau yang dikeringkan. Dan singkat cerita, Columbus membawa daun tembakau kering tersebut untuk dibawa pulang ke Benua Eropa. Di sana, penggunaan tembakau mulai berkembang di kalangan masyarakat atas/bangsawan, karena supply-nya yang saat itu masih sangat terbatas.
Dipercaya, masyarakat Indonesia mulai mengenal kebiasaan merokok dari bangsawan-bangsawan Eropa ketika menjajah tanah air. Hal ini awalnya diikuti oleh priyayi (lapisan masyarakat golongan atas), lalu mulai meresap ke masyarakat bawah yang turut mengembangkan kebiasaan mengisap rokok dengan mencampurnya dengan komoditas lokal, yang salah satunya paling populer saat ini adalah tanaman cengkih. Nah, bagi teman-teman yang belum tahu, campuran tembakau dan cengkih inilah yang namanya rokok kretek. Hal ini disebabkan karena proses pembuatan rokok dulu belum sebaik saat ini, ketika rokok kretek dihisap, sering mengeluarkan bunyi ‘kretek-kretek’, yang hingga kini dikenal dengan istilah rokok kretek. Pada awalnya rokok kretek dibalut dengan yang namanya kelobot (kulit jagung), sebelum kemudian diganti penggunaannya dengan kertas (sigaret) karena lebih praktis.
Thus, seiring perkembangan industri rokok di dalam negeri yang pesat, pemerintah Indonesia secara garis besar membedakan rokok lokal menjadi tiga jenis, berdasarkan bahan yang digunakan serta cara pembuatannya. Di antaranya adalah: 1. Sigaret Kretek Tangan (SKT), yang produksinya dari awal hingga akhir dilakukan secara manual oleh tenaga manusia. 2. Sigaret Kretek Mesin (SKM), yang hampir seluruh produksinya menggunakan mesin. 3. Sigaret Putih Mesin (SPM), dibuat dengan mesin seperti SKM, namun bahan penggunaannya murni menggunakan tembakau tanpa campuran bahan lainnya. Di samping itu, masih ada jenis rokok lainnya, seperti rokok kelobot, kemenyan, cerutu, elektrik dan lain sebagainya. Namun untuk konsumsi mayoritas masyarakat Indonesia, relatif didominasi oleh tiga produk: SKT, SKM dan SPM.
Well, bagaimana posisi industri rokok di Indonesia jika dibandingkan negara-negara lainnya? Mari kita cermati data berikut ini:
Berdasarkan data yang disajikan pada laporan tahunan Philip Morris International, penjualan rokok di dunia pada tahun 2021 mencapai 2.613 miliar batang, atau naik sekitar 2,4% dibandingkan tahun 2020 yang sebesar 2.551 miliar batang. Angka tersebut mulai naik, meskipun belum dapat menyamai penjualan ketika pra-pandemi, yang sebanyak 2.703 miliar batang. Nah, hitung-hitungan sederhananya, jika penduduk di bumi saat ini sebanyak 7,8 miliar jiwa, dan 65%-nya berusia 21 tahun ke atas, maka jika dipukul rata, setiap satu penduduk mengkonsumsi rokok 515 batang dalam setahun, atau 1,4 batang dalam sehari.
Bagaimana dengan masyarakat Indonesia? masyarakat kita ternyata salah satu pasar rokok terbesar di global. Yang mana untuk tahun 2021, volume penjualan rokok nasional mencapai 296,2 miliar batang atau sekitar 11,3% dari total penjualan rokok di dunia. And yes, berdasarkan jumlah penduduk, Indonesia hanya mewakili 3,5% jumlah penduduk di dunia. Hal ini juga didukung oleh data BPS untuk tahun 2021, di mana pengeluaran masyarakat Indonesia secara rata-rata untuk rokok adalah yang terbesar kedua setelah beras, yakni 76.583 rupiah per bulan (5,4% pengeluaran per kapita dalam satu tahun), di atas konsumsi sayur mayur, daging-dagingan, buah, maupun minyak goreng.
Excise Duty
Meskipun sudah dijelaskan secara terang benderang bahwa ‘rokok membunuhmu’ masyarakat tetap saja tidak berhenti mengonsumsi produk adiktif ini. Oleh karenanya pemerintah mengenakan yang namanya cukai, yaitu pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang memiliki sifat dasar merugikan, dan/atau memiliki efek samping bagi penggunanya, dengan tujuan untuk mengendalikan konsumsinya.
Sebagai informasi tambahan, saat ini penyumbang cukai terbesar adalah dari produk rokok. Teman pembaca bisa bayangkan, pendapatan cukai hasil tembakau di tahun 2021 mencapai 188,8 triliun atau 9,4% dari total pendapatan negara yang sebesar 2.003,1 triliun. Dan jika kita turut menghitung PPN, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), beserta PPh perusahaan rokok, kontribusinya mencapai lebih dari 10%. Sehingga tidak aneh jika kenaikan cukai rokok yang agresif, merupakan salah satu opsi pemerintah, apabila terdapat proyeksi pendapatan negara yang melesu. Berikutnya mari kita pahami bagaimana perhitungan berbagai macam pungutan yang berlaku, setiap terjadinya transaksi satu batang rokok di tanah air kita tercinta.
Kali ini, kita akan mengambil contoh produk bernama Sampoerna Mild, yang dipercaya cukup populer bagi kalangan kawula muda di kota metropolitan. Nah, karena volume produksi merek Sampoerna Mild dalam satu tahun mencapai lebih dari 3 miliar batang per tahun, maka pada struktur pengenaan tarif cukai, produk ini dikategorikan masuk ke golongan SKM I (layer cukai tertinggi). Berdasarkan kebijakan Direktur Jenderal Bea dan Cukai, produk SKM I, memiliki Harga Jual Eceran (HJE) minimal sebesar 1.905 rupiah per batangnya. Maka komponen pajak yang harus dikeluarkan pabrik rokok tersebut, setiap batangnya adalah:
- Tarif cukai golongan SKM I, sebesar 985 rupiah/batang
- PPN sebesar 9,9% dari HJE sebesar 1.905. Sehingga didapatkan nominal 188,6 rupiah (9,9% x 1.905)
- PDRB sebesar 10% dari nilai cukai yang dibayarkan, yakni sebesar 98,5 rupiah (10% x 985)
Dengan demikian dari nilai 1.905 rupiah/batang yang konsumen bayarkan untuk membeli rokok, maka yang harus disetor kepada negara adalah 1.272 rupiah (985 + 188,6 + 98,5), sedangkan sisanya 633 rupiah adalah keuntungan kotor milik perusahaan rokok, sebelum dikurangi biaya-biaya lainnya, termasuk Pajak Penghasilan yang harus disetor juga kepada negara. Nah, sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa, pada kasus golongan cukai di atas, setiap penjualan rokok per batang sekitar 67% (1.272 / 1.905) wajib disetor kepada pemerintah Republik Indonesia. Sedangkan untuk sisanya baru menjadi bagian dari perusahaan rokok pemegang merek tersebut.
Loh, tapi Pak Zomi, kok saya beli di warung atau minimarket harganya bisa lebih murah dibandingkan HJE ya? Nah perlu dijelaskan lebih lanjut, berdasarkan peraturan pemerintah, ada juga yang namanya Harga Transaksi Pasar (HTP), yaitu harga yang terjadi pada tingkat konsumer akhir (perokok). Di mana diperkenankan perusahaan untuk menjual harga produknya 85% dari nilai HJE. Pertanyaan berikutnya, apakah tarif cukainya bisa mengikuti HTP? Tentu saja tidak, meskipun harga transaksi riil-nya di bawah HJE, tarif cukai yang dikenakan wajib berdasarkan HJE. Dan inilah penyebab penurunan kinerja HMSP dan GGRM pada Q2-2022, di mana perusahaan belum berhasil meneruskan kenaikan cukai yang signifikan tiga tahun terakhir, di tengah terjadinya penurunan daya beli masyarakat yang kini masih dalam fase pemulihan.
Berikutnya mari kita cermati data industri rokok nasional, yang telah diolah berikut:
Pertama-tama, apabila teman pembaca memperhatikan data penjualan volume industri rokok nasional di atas, kita dapat melihat bahwa sepanjang 10 tahun terakhir (2011 – 2021), konsumsi rokok hanya bertumbuh 0,04% per tahunnya (294,9 miliar ke 296,2 miliar batang). Memang, penjualan rokok pernah sempat mencapai puncaknya pada tahun 2015 sebesar 320,2 miliar batang, namun setelah itu terus menurun hingga ke level terendah ketika puncak Covid-19 terjadi pada tahun 2020 (276 miliar batang). Sebagai perbandingan, hal ini cukup kontras dengan 1 dekade sebelumnya (2000 – 2010), yang pertumbuhan volume konsumsi rokok berada di kisaran 5,2% per tahunnya.
Kedua, sejak tahun 2020 silam perusahaan rokok tier dua seperti WIIM, relatif membukukan kinerja yang lebih baik dibandingkan produsen rokok tier satu. Dan yes, hal ini dikarenakan terjadi peralihan pengguna rokok premium ke rokok yang lebih murah, termasuk rokok elektrik. Di mana berdasarkan beberapa catatan, hal serupa pernah terjadi ketika periode awal tahun 2000-an ketika Indonesia baru pulih dari krisis moneter. Yeap, seorang yang sudah ketagihan merokok, di saat ekonomi lesu dan pendapatannya berkurang, umumnya tidak akan berhenti merokok. Melainkan tetap merokok, namun dengan menurunkan kualitas rokoknya ke harga yang lebih murah. Atau dalam kasus yang lebih ekstrim, perokok membeli rokok ilegal yang jauh lebih murah lagi, karena tidak ada cukainya.
Ketiga, tepat di tahun 2021 pangsa pasar rokok nasional, dikuasai oleh GGRM yang berhasil menyalip HMSP, yakni sebesar 30,8% berbanding 28%. Namun demikian, apabila teman-teman menelisik data di atas lebih jauh, terlihat penjualan serta Average Selling Price (ASP) GGRM lebih tinggi dibandingkan HMSP, tetapi kok kinerja laba bersihnya turun lebih dalam dibandingkan HMSP? Lebih dari itu kenapa ROE HMSP juga masih lebih tinggi dibandingkan GGRM?
Fundamental Analysis HMSP and GGRM
Jawaban pertama dari pertanyaan di atas, adalah karena struktur tarif cukai yang berbeda antara HMSP dan GGRM. Apabila teman-teman gali lebih dalam, kontribusi penjualan rokok GGRM didominasi oleh produk SKM-nya (92%), yang notabene tarif cukainya jauh lebih tinggi. Sedangkan untuk HMSP, kontribusi SKM-nya hanya 66%, dan berikutnya didukung oleh produk SKT yang tarif cukainya lebih rendah. Hal ini dikarenakan produk SKT merupakan produk yang padat karya, di mana proses pembuatannya membutuhkan tenaga karyawan yang lebih banyak, dan otomatis mendukung program pemerintah dalam mengurangi tingkat pengangguran nasional. Sehingga setiap terjadi kenaikan cukai, umumnya kenaikan cukai produk SKM relatif lebih tinggi dibandingkan SKT. Alhasil hal ini tercermin pada rasio biaya cukai terhadap pendapatan HMSP yang lebih rendah sekitar 65,8%, berbanding GGRM yang sebesar 72,9%.
Yang kedua, perlu diakui apabila fundamental HMSP memang lebih superior dibandingkan GGRM. Hal ini dapat kita lihat dari:
- Rasio perputaran aset (pendapatan / total aset) HMSP yang sebesar 186%, lebih tinggi dibandingkan GGRM dengan rasio 139%. Yang artinya, HMSP lebih mampu memaksimalkan produktifitas aset yang dimilikinya.
- Apabila GGRM rajin membagikan 60% labanya untuk dividen. Maka HMSP, mampu secara rutin membagikan 100% labanya untuk dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen. Teman-teman bisa membayangkan, jika kebanyakan perusahaan harus menyisihkan sebagian (dalam beberapa kasus, seluruh) labanya untuk mengembangkan bisnisnya, maka HMSP mampu membagikan seluruh labanya, sambil terus meningkatkan omset penjualan perusahaan.
- Sejatinya ROE HMSP bisa lebih tinggi lagi, jika perusahaan tidak melakukan right issue guna memenuhi rasio free float sebesar 7,5% pada tahun 2015 untuk mempertahankan eksistensinya di pasar modal. Asumsi kas dan setara kas perseroan dijaga pada level 10% dari total aset, maka ROE HMSP mungkin dapat mencapai level 50% di tahun 2021 kemarin.
Actually, berdasarkan LK audit HMSP untuk tahun 2021, melihat posisi kas dan setara kas perusahaan yang mencapai 17,8 triliun, banyak aksi korporasi yang mungkin bisa dilakukan oleh manajemen, salah satu contohnya, misal aksi privatisasi. Andaikata nilai kapitalisasi pasar HMSP ketika artikel ini ditulis mencapai 105 triliun. Maka untuk membeli 7,5% saham yang beredar di masyarakat, emiten cukup menyiapkan dana sekitar 8 triliun. Di samping itu, dalam kondisi normal, arus kas operasi yang dapat dihasilkan rata-rata per tahunnya oleh perusahaan, mencapai 11 triliun.
Penulis pernah terdorong untuk menanyakan hal di atas kepada Investor Relation HMSP. Di mana diinformasikan bahwa memang sebagian besar kas yang dimiliki HMSP untuk tahun 2021 kemarin, berasal dari right issue perusahaan di tahun 2015 silam, dan untuk pengunaannya sendiri hanya bisa dipakai sesuai dengan prospektus awal, yakni untuk modal kerja perusahaan. Thus, perusahaan belum bisa menyampaikan lebih lanjut terkait rencana penggunaan kas berlebih tersebut. Namun untuk sementara, sepertinya manajemen tetap akan menjaga level kas yang ada, sebagai buffer tambahan menghadapi ketidakpastian di dalam industri rokok.
Lantas, apakah artinya GGRM bukan merupakan perusahaan yang bagus? Merujuk rilis data Fortune Indonesia 100 yang baru dirilis bulan Agustus 2022, pada tahun 2021 GGRM berhasil mempertahankan posisinya sebagai perusahaan dengan pendapatan 124,8 triliun, atau terbesar nomor 7 di Indonesia. Dalam hal ini penulis jadi teringat kisah Buffett ketika hendak membeli See’s Candies pada tahun 1972, mengenai salah satu cara mengukur economic moat sebuah perusahaan. Jika Buffett saat itu memiliki uang sebesar $100 juta, apakah mampu untuk mengalahkan atau sekedar menyaingi See’s Candies? Karena jawabannya sangat amat sulit, atau mungkin dalam perumpamaan lain sebuah hal yang mustahil, alih-alih melakukan hal tersebut, Buffett memutuskan untuk membeli See’s Candies dengan cukup membayarkan harga $25 juta, yang hingga kini telah menghasilkan keuntungan berlipat untuk Berkshire.
Di samping itu, secara valuasi GGRM memiliki rasio PBV sekitar 0,8x, lebih rendah dibandingkan dengan HMSP yang dihargai pada PBV 4,3x ketika artikel ini ditulis. Nah, jika harus memilih salah satu, mana yang akan teman-teman pembaca pilih? Ah, mungkin ini yang dimaksud oleh Peter Lynch, bahwa investasi itu lebih kepada seni, dibandingkan hitung-hitungan semata 🙂
Conclusion
Nah okey, setelah teman-teman mengetahui struktur biaya perusahaan rokok, maka kita dapat menyimpulkan bahwa risiko terbesar yang akan dihadapi oleh industri rokok kedepannya adalah kebijakan cukai dari pemerintah. Dan hal ini, terus terang sangat sulit untuk diprediksi, karena meskipun pemerintah tentunya ingin mempertahankan pertumbuhan industri karena merupakan pendapatan negara yang signifikan, tetapi tidak menutup kemungkinan juga masih adanya kenaikan cukai yang agresif untuk tahun-tahun yang akan datang. Mengingat banyaknya stakeholders pada industri rokok, dari Pemda, Kemenperin, Kementan, Kemnaker, Kemenkes, Pegiat Anti-rokok, Komisi Perlindungan Anak, hingga Kemenkeu sebagai penentu akhir kebijakan.
Pun demikian, berikut adalah beberapa fakta yang mungkin bisa menjadi sedikit pelipur lara bagi teman-teman yang mungkin sudah memegang atau memiliki rencana untuk bottom fishing di HMSP ataupun GGRM. Pertama, apabila kita mencermati data beberapa tahun sebelumnya, biasanya kenaikan cukai menjelang tahun politis relatif lebih longgar, yang mana hal ini mungkin disebabkan pelaku industri rokok yang cukup besar, yakni berkontribusi lebih dari 5% (sekitar 7 juta) terhadap angkatan kerja di Indonesia yang berasal dari industri hulu hingga ke hilir (petani cengkih, petani tembakau, pengepul, pabrik, distributir, hingga ritel/warung-warung kecil). Di samping, guna menekan rokok ilegal yang semakin marak.
Kedua, berdasarkan UU No. 39/2007, terdapat peraturan yang menuliskan bahwa komposisi maksimum tarif cukai adalah 57% dari HJE, yang saat ini komposisinya telah mencapai 54%. Sehingga kedepannya, jika pemerintah ingin menaikan cukai, maka peningkatannya kemungkinan akan relatif lebih rendah dibandingkan kenaikan HJE industri. Terakhir, yaitu usaha pemerintah untuk mengurangi layer tarif cukai, dari 8 layer menuju 5 layer. Beberapa tujuan dari simplifikasi ini dipercaya untuk mempermudah pengawasan dari Dirjen Beacukai terhadap pabrik rokok, menghindari terjadinya aksi pabrikan rokok yang memanfaatkan celah untuk mendapatkan tarif cukai yang lebih rendah, dan dapat menurunkan prevalensi perokok anak.
Pada akhirnya, penulis setuju bahwa prospek industri rokok tidak secerah dua atau tiga dekade yang lalu. Dan rasanya cukup sulit bagi emiten-emiten besar di sektor ini untuk dapat mengulang puncak masa kejayaannya. Tetapi, apakah iya, prospek industri rokok sesuram itu, sehingga pasar tinggal menghargai sahamnya seperempat dari nilai tertingginya dulu? Well, bagi teman-teman value investor, penulis hanya bisa menyampaikan, mari kita kerjakan PR kita masing-masing 🙂
Sekian artikel kali ini, dan semoga teman pembaca mendapatkan ilmu yang bermanfaat dari tulisan-tulisan di atas. Good luck and happy investing!
“Many shall be restored that now are fallen, and many shall fall that now are in honor.” Horace-Ars Poetica
Pak 54% dari HJE dapat dari mana ya?
Lalu apakah ada data cagr 10 tahun HJE? Untuk memprediksi kenaikan cukai tahun depan.