Melengkapi pembahasan ‘Digging the Asset β Understanding Poultry Industries’, artikel kali ini akan membahas mengenai emiten perunggasan terbesar ke-3 di Indonesia, yang bernama Malindo Feedmill (MAIN). Thus, pertimbangan MAIN yang dijadikan bahan analisa, dikarenakan pergerakan sahamnya yang sangat underperform. Misalnya sepanjang tahun 2021 kemarin, saham MAIN turun 11,8%, dibanding Charoen Pokphand (CPIN) yang terkoreksi 8,1%, atau Japfa Comfeed (JPFA) yang terapresiasi 16,2%. Bahkan jika kita melihat agak jauh ke belakang, yakni 5 tahun silam, pergerakan saham MAIN -57,6%, berbanding CPIN +81,2%, JPFA +17%, ataupun Sreeya Sewu (SIPD) +130,6%.
Yes, di satu sisi harus diakui CPIN dan JPFA memiliki keunggulan fundamental dan sahamnya juga lebih populer. Namun, apakah fundamental MAIN sampai seburuk itu, sehingga sahamnya sangat terpuruk? Ataukah ada alasan lainnya? Atau bisa jadi ini memang peluang emas saja, untuk seorang value investor? Nah, untuk menjawabnya, mari kita coba analisa satu per satu fundamental perusahaan:
Company Profile & Fundamental
Kisah perjalanan MAIN dimulai pada tahun 1997, tepat ketika terjadi krisis moneter di Indonesia. Di mana pada awalnya, perusahaan didirikan dengan nama PT. Gymtech Feedmill Indonesia, dan baru berubah menjadi Malindo Feedmill di tahun 2000, tepatnya ketika perseroan diakuisisi oleh Lau Family (Malaysia) melalui perpanjangan tangan Dragon Amity Ltd. Singkat cerita, hingga kini Lau Family masih memegang kendali perusahaan dengan kepemilikan sebesar 57,27%, lalu sisanya dipegang oleh publik 42,41%, dan manajemen aktif sebesar 0,32%.
Berdasarkan kinerja terbaru perusahaan hingga Q3-2021, MAIN berhasil melakukan turnaround (membalikan kerugian menjadi keuntungan). Di mana jika pada periode yang sama tahun sebelumnya MAIN masih merugi 72,5 miliar, maka pada tahun ini manajemen berhasil kembali mencetak laba bersih sebesar 18,6 miliar, didukung dengan pendapatan perusahaan yang tumbuh menjadi 6,7 triliun (+34% YoY). Oh iya, apabila teman-teman cermati lebih dalam, sebetulnya kinerja MAIN turun dibandingkan Q2-2021, namun hal ini terjelaskan dengan harga telur, DOC dan ayam yang turun signifikan di sepanjang bulan Juli – September 2021, di lain sisi harga bahan baku seperti jagung dan bungkil kedelai malah naik. Sehingga dampaknya tidak hanya kepada MAIN saja, melainkan perusahaan perunggasan lainnya seperti CPIN, JPFA dan SIPD juga turut mengalami penurunan kinerja.
And yeap, berikut adalah kinerja penjualan MAIN, beserta kontribusi dari segmen-segmen yang dimilikinya:
Apabila teman-teman memperhatikan data kinerja MAIN di atas, kita dapat menyimpulkan beberapa hal, yaitu:
- Manajemen terbilang cukup sukses mengembangkan omset perusahaan dari 2,6 triliun di tahun 2011 menjadi 7,4 triliun pada tahun 2019 (CAGR +10,9%), meskipun sempat turun kembali menjadi 7 triliun di tahun 2020, karena adanya dampak Covid-19.
- Kontribusi utama penjualan MAIN, berasal dari segmen pakan yang berkisar di rentang 60-65%. Hal ini didukung dengan lima pabrik pakan perseroan yang tersebar di berbagai wilayah (Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, hingga Sulawesi Selatan), dengan total kapasitas terpasang 1,3 juta MT/tahun. Kini, emiten berhasil memegang 7% market share untuk segmen pakan se-Indonesia.
- Untuk segmen DOC dan Broiler, yang diakumulasi berkisar 37%, kontribusinya relatif kecil apabila dibandingkan dengan kompetitor sejenis (JPFA 42%, CPIN 50%). Dan menurut pengakuan manajemen, perusahaan belum terlalu gencar meningkatkan segmen DOC & Broiler-nya guna menjaga harga pasaran kedua komoditas tersebut, mengingat kondisi pasar yang masih oversupply, di samping segmen hilir perusahaan yang belum kuat.
- Segmen terakhir, yaitu konsumer atau consumer product yang saat ini baru didukung dengan 1 pabrik di Cikarang dengan kapasitas produksi 9.000 MT/tahun. Masih memiliki kontribusi yang sangat kecil, sekitar 2,7% dibandingkan total penjualan perseroan. Sebagai perbandingan, kontribusi segmen hilir CPIN dan JPFA, berkisar di rentang 13-14%.
Nah, sekilas dari analisa yang telah disampaikan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa kinerja MAIN dari skala bisnis maupun performa tiap-tiap segmennya, tidaklah lebih baik dibandingkan CPIN ataupun JPFA. Misalnya, untuk kontribusi segmen pakan yang mendominasi kinerja MAIN, meskipun hal ini menjadi competitive advantage perusahaan, tapi di sisi lain kinerja perusahaan menjadi sangat sensitif terhadap fluktuasi harga bahan baku pakan, khususnya jagung dan bungkil kedelai.
Terkait bahan baku pakan, mungkin ada teman pembaca yang bertanya, kenapa kok perusahaan tidak memproduksi bahan bakunya sendiri saja, seperti halnya perusahaan minyak goreng yang punya kebun sawit sendiri? Well, terus terang awalnya penulis juga memiliki pertanyaan serupa, dan kira-kira berikut jawaban dari manajemen MAIN. Kebutuhan rata-rata produksi pakan MAIN sepanjang tahun 2021, sekitar 70.000 ton/bulan, di mana dengan menimbang separuh bahan baku perseroan dari jagung, maka artinya perusahaan perlu menyiapkan pasokan 35.000 ton komoditas jagung per bulannya.
Apabila teman-teman mencermati data dari Kementrian Pertanian, rata-rata produktivitas jagung di Indonesia hanya di kisaran 5 ton/hektar. Sehingga andaikata MAIN mau membuat, sekaligus memasuk sendiri bahan baku jagungnya, mereka perlu menyiapkan belanja lahan minimal seluas 21.000 hektar, dikarenakan masa tanam jagung dari pembibitan hingga panen, memerlukan waktu antara 2-3 bulan. Alhasil, mempertimbangkan risiko-risiko seperti sulitnya mencari lokasi hamparan luas yang strategis serta murah, minimnya kompetensi manajemen, risiko gagal panen karena berbagai macam faktor, beserta risiko-risiko lainnya, maka MAIN lebih memilih opsi yang relatif lebih aman, yakni dengan membangun silo jagung (tempat penyimpanan komoditas jagung agar lebih tahan lama). Sehingga ketika harga jagung sedang kondusif, perusahaan bisa me-manage pembelian yang lebih banyak guna mengantisipasi adanya volatilitas pergerakan harga jagung kedepannya.
Downstream Segment
Selanjutnya, jika penulis harus menyebutkan prospek yang paling menarik dari MAIN saat ini, maka jawabannya adalah usaha manajemen dalam mengembangkan segmen hilirnya, yang telah dimulai sejak tahun 2013. Jika teman-teman cermati kembali data segmen operasional MAIN di atas, meskipun kontribusi segmen konsumer perusahaan masih sangat kecil, namun nilainya terus bertumbuh pesat dari 0,1% di tahun 2013 menjadi 2,7% pada tahun 2020. Kemudian untuk marjin usahanya sendiri (lihat: Margin CP), walaupun masih terus mengalami kerugian, tetapi nilainya kian membaik, seiring dengan volume penjualan yang meningkat dan efisiensi yang dilakukan manajemen. Bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan, segmen konsumer MAIN berhasil membukukan keuntungan, mengingat di tahun kemarin perusahaan tidak hanya berhasil memasarkan produk konsumernya di dalam negeri, tetapi juga berhasil mengekspor produknya hingga ke Jepang, yang dikenal cukup ketat dalam melakukan importasi barang konsumsi. Lebih dari itu, manajemen juga memiliki target untuk membangun 200 Sunny’chick Store, yakni semacam gerai ayam goreng, hingga akhir tahun 2022 nanti.
Meminjam peribahasa “lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali”, maka strategi MAIN untuk memasuki segmen hilir sudah cukup tepat. Meskipun dalam prosesnya, perusahaan sudah kalah start jauh dibandingkan kompetitornya seperti JPFA yang telah mengembangkan divisi konsumernya sejak tahun 1993, dengan produk So Good dan So Nice. Atau CPIN, pemimpin segmen konsumer saat ini dengan merek unggulan Fiesta, yang telah dipasarkan sejak tahun 2000. Pun demikian, melihat perkembangan segmen konsumer MAIN dari tahun ke tahun yang terus membaik, apabila kedepannya manajemen berhasil membukukan marjin 1% saja (tidak perlu muluk-muluk 15%, seperti marjin CPIN), maka setidaknya perusahaan bisa mengilangkan efek kerugian 50 miliar/tahunnya, dan menggantinya dengan pundi-pundi keuntungan 2 miliar, di samping dapat meningkatkan performa segmen lainnya, seperti yang telah disampaikan sebelumnya.
Thus, segmen hilir tidak hanya penting, melainkan memiliki nilai ungkit yang sangat signifikan untuk performa perusahaan perunggasan secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan, apabila MAIN sukses mengembangkan lebih lanjut segmen hilirnya, di samping bisa meraih keuntungan tambahan, perusahaan juga dapat lebih fleksibel dalam mengelola kinerja operasional DOC ataupun Broiler-nya. Misalnya ketika harga ayam hidup sedang jatuh, manajemen dapat memiliki opsi tambahan untuk tidak menjual rugi di harga pasar, melainkan dapat mengolahnya, katakanlah menjadi frozen food yang relatif bisa disimpan lebih lama, dan jika telah memiliki brand image yang kuat, dapat dijual di harga yang premium. Sehingga dapat dikatakan, jika MAIN berhasil mengembangkan segmen produk konsumernya, maka perusahaan juga dapat mengembangkan lebih lanjut divisi DOC dan Broiler, yang pada akhirnya akan berdampak positif juga terhadap peningkatan utilisasi segmen pakan perseroan.
Well, saat ini kita telah membahas sedikit mengenai sejarah perusahaan, melihat keunggulan fundamental serta kelemahannya, dan juga rencana ekspansi perusahaan kedepannya. Selanjutnya, mari kita coba analisa, apakah valuasi saham MAIN yang telah terkoreksi dalam sudah cukup menarik?
Valuation
Apabila teman-teman mengecek pergerakan saham MAIN dalam jangka panjang, maka kita dapat melihat bahwa pada tahun 2013 silam, sahamnya pernah bertengger di harga @4.300 atau pada PBV 7,2x. Nah, dengan kinerja serta prospek yang telah disampaikan di atas, apakah mungkin MAIN naik ke valuasi tersebut kembali? Jawabannya mungkin-mungkin saja. Namun demikian, rasanya kurang bijak jika kita mengharapkan valuasinya bisa sampai se-premium itu, karena dibandingkan CPIN yang notabene fundamentalnya terbaik di industri saja, valuasinya saat ini hanya di PBV 4,4x (@6.475). Nah, jika MAIN merupakan perusahaan terbesar ke-3 di industry poultry, maka lebih konservatif apabila kita memvaluasinya lebih rendah dibandingkan JPFA yang saat ini diperdagangkan pada PBV 1,7x (@1.680).
Okey, kita sudah tahu bahwa batas atasnya di PBV 1,7x, lalu apakah valuasinya saat ini pada level PBV 0,7x sudah wajar? Well, meskipun MAIN secara fundamental kalah, tapi rasanya terdiskon sampai 60% dibandingkan JPFA agak keterlaluan. Mengingat, walau perusahaan kini hanya menempati posisi nomor 3 di Indonesia, tetapi hal tersebut merupakan pencapaian yang cukup baik. Terutama jika kita melihat usia perusahaan yang berdiri dua dekade silam masih tergolong muda, misalnya dibandingkan dengan CPIN yang telah berdiri sejak 1972, JPFA tahun 1971, SIPD 1985, ataupun perusahaan perunggasan lainnya yang telah berdiri sejak lama, namun hingga kini pangsa pasarnya tidak seberapa.
Sehingga mempertimbangkan kelebihan dari industri perunggasan yang menarik, dengan tingkat konsumsi masyarakat Indonesia yang masih rendah, dan ekspansi-ekspansi yang sedang gencar dilakukan manajemen (perseroan juga berencana membangun pabrik pakan baru di Lampung, salah satu wilayah sentra produksi jagung terbesar) yang telah disampaikan di atas. Di lain sisi harus kita imbangi juga dengan risiko-risiko yang mengiringinya, seperti kondisi oversupply di industri yang kerap terjadi, permasalahan terkait bahan baku, persaingan usaha di segmen hilir, hingga posisi neraca perusahaan yang sudah cukup ketat. Maka penulis memvaluasi saham MAIN pada kapitalisasi pasar 2 triliun, tepatnya pada PBV 0,9x, alias dengan asumsi harga sahamnya saat ini @650, maka ketemulah angka margin of safety sekitar 22%.
And yeap, apakah angka MoS tersebut cukup menarik untuk teman-teman? Atau teman pembaca memiliki sudut pandang yang berlainan dengan penulis? Silahkan jawab pada kolom komentar di bawah π
Sekian artikel kali ini. Dan jangan lupa bahwa analisa yang disampaikan di atas merupakan pandangan penulis terhadap saham MAIN dan bukan merupakan ajak membeli atau menjual saham tertentu. Semoga teman pembaca mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Good luck and Happy Investing!
βThe big money is not in the buying or selling, but in the waiting.β – Charlie Munger
Thx for the insightnya ko, mau tanya nih ko.
Untuk Income statemnt seperti JPFA, CPIN dan MAIN disana ada “perubahan atas nilai wajar aset biologis”. ini maksudnya apa ya ko? mungkin bisa dijelaskan secara singkat dan apakah ini bersifat pencatatan saja atau benar” mengurangi laba ya?
Terus yang kedua untuk kita bisa cari tahu data culling terkain ayam bisa dicek dimana ya ko?
Terima kasih sebelumnya
Sama mau tanya lagi ko harusnya downstream dari poultry ini kan hrsnya GPMnya tinggi ya seperti SIPD dimana frozenya dan karkasnya jika dilihat 2 tahun terakhir ini semakin membaik bisa diatas 10% lebih bahkan Q1 2023 mencapai 19% marginya. Tp kenapa ya kalau MAIN dan JPFA marginya masih kecil dan bahkan masih minus untuk MAIN? Pertama saya pikir mungkin skalanya belum besar untuk MAIN karena salesnya masih CP masih dibawah 200 miliar makanya masih minus marginya, tp jika dilihat dari JPFA yang sales CP sudah capai 7T tapi marignya masih 3-4% saja. dan jika saya lihat CPIN meskipunn marginya bagus tapi makin kesini makin berkuraang dari 30% menjadi 11-14% untuk CP.
Kira” kenapa ya ko? Apakah kurang menarik di downstream ini?
Terima kasih ko!!