Stock Analysis

Bank Tabungan Negara (BBTN) – The Largest Mortgage Bank in Indonesia

Bank Tabungan Negara, kode ticker BBTN merupakan bank nasional tertua ke-2 di Nusantara. Dan pada usianya yang ke-125 tahun, kini perseroan berhasil menjadi bank terbesar ke-5 berdasarkan aset, kredit dan dana pihak ketiga (DPK), serta penyalur pembiayaan perumahan terbesar. Namun demikian, uniknya ketika penulis meminta beberapa kerabat menyebutkan nama-nama bank besar di Indonesia, umumnya mereka hanya menjawab tiga atau empat perusahaan saja, yakni Bank Central Asia (BBCA), Bank Rakyat Indonesia (BBRI), Bank Mandiri (BMRI), dan/atau Bank Negara Indonesia (BBNI).

Well, sepertinya hal ini juga terkonfirmasi dari likuiditas saham maupun kapitalisasi pasar BBTN, yang jauh lebih rendah dibandingkan saudara-saudaranya, Misalnya ketika artikel ini ditulis, nilai pasar BBTN hanya 14 triliun, tidak sampai sepersepuluh BBNI yang mencapai 180 triliun, bahkan jauh lebih rendah lagi dibandingkan BBRI yang segede 740 triliun. Jadi kenapa kok bank yang dinobatkan rajanya KPR, sahamnya malah turun terus di saat bank besar lainnya sempat berhasil menembus level all time high-nya? Apakah ada permasalahan fundamental di dalam perusahaan? Lalu bagaimana rencana right issue perusahaan menjelang tutup tahun nanti?

Yeap, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, alangkah baiknya kita coba telaah secara menyeluruh profil BBTN, segmen kreditnya, hingga beberapa aksi korporasi yang akan dilakukan emiten kedepannya. Sekarang, mari kita urai satu per satu:

Housing Segment

Di antero perbankan nasional, BBTN menempati posisi yang sangat-amat strategis. Di mana sejak tahun 1976 perseroan telah ditetapkan sebagai bank utama penyalur Kredit Pemilikan Rumah (KPR), dan menjadi ujung tombak pemerintah guna memenuhi sila ke-5 di Indonesia, yang dalam konteks secara khusus adalah memenuhi kebutuhan papan alias tempat tinggal yang layak. Dan layak di sini, memiliki artian harus memenuhi 5 kriteria berikut: 1. Memiliki akses terhadap air bersih; 2. Sanitasi layak; 3. Ketahanan struktur bangunan; 4. Luas per kapita 7,2 m2; dan 5. Penerangan utamanya adalah listrik.

Berdasarkan informasi dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), saat ini masih terjadi yang namanya backlog perumahan, yakni selisih antara kebutuhan akan rumah dibandingkan persediaan rumah yang tersedia. Di mana masih berdasarkan kajian Kementerian PUPR, kebutuhan pemilikan rumah oleh masyarakat Indonesia yang belum terpenuhi saat ini mencapai 11,4 juta unit rumah. Dan ini belum termasuk 29,5 juta rumah tangga yang kini masih menempati rumah tidak layak huni, atau dengan kata lain masih belum memenuhi satu atau beberapa kriteria rumah layak di atas.

Berikutnya, guna mengatasi permasalahan backlog, pemerintah menjalankan kebijakan yang bernama ‘Program Sejuta Rumah’ dengan target penyediaan 1,1 juta – 1,2 juta unit hunian rumah baru setiap tahunnya. Dengan harapan pada tahun 2045 nanti, seluruh masyarakat telah merdeka dengan memiliki huniannya sendiri. Well, mungkin ada teman pembaca yang tergelisik, bukankah kalau setahun bisa membangun 1 juta rumah, dengan backlog 11,4 juta unit, berarti tidak sampai 12 tahun permasalahan backlog dapat terselesaikan? Jawabannya iya dan betul. Tetapi jangan lupa, bahwa ada yang namanya pertumbuhan penduduk serta meningkatnya usia produktif dari generasi Millenial dan Gen Z, sehingga permintaan akan hunian baru juga turut meningkat sekitar 800.000 unit setiap tahunnya. Yeap, permasalahannya tidak sesederhana itu bukan?

Potensi Industri Perumahan. Sumber: Investor Daily 19 November 2022

Setelah memahami big picture industri properti di Indonesia. Berikutnya teman-teman perlu mengetahui bahwa berdasarkan data dari Bank Indonesia, lebih dari 70% masyarakat kita melakukan pembelian rumah dengan skema KPR, dan sisanya baru menggunakan tunai bertahap ataupun cash keras. Dan seperti yang kita ketahui bahwa problematika KPR itu cukup banyak. Dimulai dari pengajuannya yang sulit, periode bunga mengambang yang terkadang kurang transparan, serta uang muka yang tinggi. Sedangkan di lain sisi, harga hunian cenderung terus naik setiap tahunnya.

Kabar baiknya, di sinilah pemerintah kembali hadir. Jadi tidak hanya mendukung penyediaan rumah yang terjangkau bagi masyarakat luas, tetapi pemerintah juga menganggarkan subsidi pembiayaan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Sebagai contoh, untuk tahun 2022 pemerintah menganggarkan 29 triliun untuk 226 ribu unit rumah, dan pada tahun 2023 nanti rencananya anggaran subsidi akan kembali ditingkatkan menjadi 30 triliun untuk 230 ribu unit rumah. Macam subsidi yang diberikan meliputi: Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Subsidi Selisih Bunga (SSB), Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM), Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT), dan kerja sama dengan Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera).

Yeap, teman-teman tidak perlu pusing dengan berbagai macam istilah subsidi yang disebutkan di atas, karena mekanismenya tidak jauh berbeda satu dengan lainnya. Misalnya untuk FLPP dan SSB, sama-sama bantuan subsidi bunga yang teknisnya mirip dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR). BP2BT dan SBUM, merupakan bantuan subsidi dalam bentuk uang muka. Dan yang terbaru, yaitu Tapera merupakan kerja sama pembiayaan subsidi KPR antara Bank Penyalur dengan BP Tapera bagi masyarakat MBR, yang sementara ini masih terbatas bagi kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). Thus, program Tapera merupakan solusi adanya maturity mismatched dari DPK perbankan yang sifatnya jangka pendek, untuk pendanaan perumahan yang sifatnya jangka panjang atau bisa mencapai 20 tahun.

Komposisi Pembiayaan Pemilikan Hunian. Sumber: Bisnis Indonesia 15 November 2022

Dan di sinilah BBTN turut berperan penting menyukseskan pengentasan backlog perumahan di Indonesia. Berdasarkan Laporan Keuangan (LK) audit tahun 2021, perseroan memiliki aset sebesar 371 triliun. Di mana dari total aset tersebut, 74%-nya atau sekitar 274 triliun merupakan kredit yang disalurkan. Dan apabila teman-teman cermati lebih lanjut, 90% dari kredit tersebut disalurkan untuk pembiayaan perumahan beserta ekosistem pendukungnya. Lalu 53%-nya, yakni 131 triliun merupakan pembiayaan rumah bersubsidi yang didominasi oleh FLPP dan SSB. In brief, BBTN kini menduduki posisi sebagai bank penyalur KPR terbesar dengan pangsa pasar 38,5% secara nasional, dan 84,5% untuk KPR bersubsidi. Dan dari total anggaran subsidi pemerintah yang hampir 30 triliun, lebih dari separuhnya disalurkan melalui perseroan.

Selanjutnya, karena mayoritas pembiayaan bersubsidi BBTN dalam bentuk FLPP dan SSB, kita akan membahas sedikit mengenai kedua skema tersebut. Di mana perbedaan yang paling fundamental dari FLPP dan SSB adalah, apabila FLPP sebagian besar (80%-90%) pendanaannya berasal dari pemerintah dan sisanya dari bank penyalur. Maka sebaliknya, SSB pendanaannya berasal dari bank penyalur, sedangkan pemerintah hanya mensubsidi selisih bunganya saja. Okey supaya tidak lebih bingung, berikut adalah beberapa poin penting terkait subsidi FLPP dan SSB yang dapat teman-teman cermati:

  • Nilai KPR subsidi, maksimal sebesar nilai jual rumah tapak dikurangi dengan uang muka.
  • Suku bunga KPR subsidi paling tinggi BI Rate + 5%, atau suku bunga KPR non-subsidi yang berlaku, dipilih mana yang paling rendah.
  • Suku bunga KPR yang dibayar oleh debitur 5% fix per tahun, dengan jangka waktu paling lama 20 tahun.
  • Selisih bunga KPR antara yang dibayar oleh debitur dengan yang dikenakan oleh bank pelaksana, akan disubsidi oleh pemerintah.

Contoh sederhananya kira-kira seperti berikut: Tuan A merupakan MBR yang membeli rumah bersubsidi skema SSB melalui BBTN senilai 200 juta. Dengan BI Rate saat ini 5,25% maka BBTN mengenakan bunga KPR sebesar 10,25% (5,25% + 5%) kepada Tuan A. Karena adanya subsidi, Tuan A cukup membayar bunga 5% saja sampai KPR-nya selesai nanti, sedangkan untuk selisih kekurangan bunganya akan dibayarkan oleh pemerintah kepada BBTN. Bagaimana jika Tuan A menggunakan skema FLPP? Tidak ada perbedaan dari sisi pembeli, namun demikian untuk nominal pembiayaan 200 juta tersebut, sekitar 80%-nya akan didanai oleh pemerintah (160 juta), sedangkan sisanya berasal dari BBTN (40 juta).

Stock Analysis

Setelah memahami industri perumahan di Indonesia, dari adanya backlog hingga berbagai macam skema subsidi yang disediakan pemerintah. Kembali ke pertanyaan awal, kenapa kok saham BBTN malah tutun terus? Bahkan harganya sekarang, tidak sampai separuh posisinya di 5 tahun yang lalu. Karena logikanya setelah mengetahui beberapa fakta di atas, sebagai bank BUMN yang didukung dengan berbagai macam program pemerintah, maka harusnya asalkan manajemen BBTN lurus-lurus saja, maka prospek dan potensi pertumbuhan perusahaan sangatlah cerah. Maksud penulis, tentu bukan artinya kredit BBTN bebas risiko sama sekali. Namun demikian, dengan pengalaman perusahaan selama 46 tahun di segmen KPR, didukung alokasi anggaran subsidi pemerintah yang terus meningkat setiap tahunnya, hal-hal tersebut merupakan ‘bekal’ yang tidak dimiliki oleh bank-bank umum lainnya.

Nah, mengutip peribahasa tidak ada asap jika tidak ada api. Memang tidak sulit untuk menyimpulkan bahwasanya fundamental BBTN tidak sesuperior bank-bank besar lainnya. Bahkan sebaliknya, terdapat beberapa hal krusial mengenai fundamental perseroan yang harus segera dibenahi. Thus, guna mempersingkat waktu, berikut adalah rangkuman beberapa poin penting yang dapat teman-teman perhatikan mengenai fundamental perseroan:

  1. Struktur permodalan BBTN tidaklah sehat. Sebagai contoh debt to equity ratio (DER) perusahaan mencapai 1.637%, yang artinya komposisi liabilitas perseroan 16x lipat dibandingkan ekuitasnya. Atau dengan kata lain 6% saja dari aset BBTN ada yang bermasalah, bisa menyapu habis permodalan perusahaan. Sebagai perbandingan, bank-bank lain umumnya memiliki rasio DER kurang dari 8x.
  2. Rasio intermediasi yang tidak optimal. Di mana loan to deposit ratio (LDR) BBTN, sejak tahun 2008 hingga 2019 selalu di atas 100%, yang artinya nilai pembiayaan yang disalurkan selalu lebih tinggi dibandingkan DPK yang dimiliki. Dan meski di tahun 2021 LDR perseroan telah turun ke 92,9%, posisinya masih kurang memadai guna menghadapi kebijakan moneter yang akan lebih ketat kedepannya.
  3. Seiring dengan rasio LDR yang ketat, maka otomatis manajemen juga wajib meningkatkan DPK-nya lebih agresif. Yang implikasi umumnya, BBTN perlu menjual bunga yang lebih tinggi dibandingkan bank lainnya. Dan hal ini turut tercermin dari rasio dana pihak ketiga perseroan yang didominasi oleh rekening deposito (dana mahal), dibandingkan tabungan dan giro (dana murah).
  4. Rasio non-performing loans gross (NPL-Gross) perseroan berada di level 3,7%, di mana salah satu kontributor utamanya dari kredit konstruksi yang menyumbang NPL 21,3%. Di samping itu, rasio cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) terhadap NPL perusahaan masih di angka 147%, dibandingkan rata-rata bank besar lainnya yang sudah di atas 250%.
  5. Last but not least, risiko kredit BBTN yang terkonsentrasi pada pembiayaan perumahan beserta ekosistemnya, membuat perusahaan cukup sensitif dengan naik turunnya kondisi ekonomi atau sektor properti secara khusus. Misalnya apabila tren suku bunga terus meningkat, maka baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kualitas pembiayaan perseroan.

Dan yeap, untuk membenahi hal-hal di atas, BBTN berencana melakukan dua aksi korporasi penting dalam waktu dekat ini, yaitu: right issue dan penjualan Unit Usaha Syariah-BTN kepada Bank Syariah Indonesia (BRIS).

Corporate Action

Right issue atau kerap disebut Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD), merupakan aksi korporasi yang dilakukan emiten untuk menggalang dana tambahan dari investor. Di mana untuk teknisnya, pemegang saham lama akan mendapatkan hak istimewa untuk menebus right-nya pada harga tertentu. Dan apabila tidak ingin ditebus, pemegang saham lama dapat menjual right-nya kepada investor lain yang ingin melakukan penebusan. Untuk setiap right yang ditebus akan menjadi modal tambahan baru bagi emiten yang melakukan aksi korporasi tersebut. Well, kali ini kita tidak akan berbicara panjang lebar mengenai right issue, karena artikelnya sudah cukup panjang, yang penting-penting teman-teman memahami secara garis besarnya.

Prospektus Right Issue BBTN. Sumber: www.idx.co.id

Next, dalam publikasi prospektus BBTN yang dapat teman-teman peroleh dari website Bursa Efek Indonesia. Disampaikan apabila perseroan akan melakukan right issue dengan menerbitkan 3,4 miliar saham baru pada harga saham 1.200/lembar, dengan target perolehan dana sebesar 4,1 triliun rupiah. Itu artinya, jika seluruh saham baru yang diterbitkan perseroan ditebus oleh pemegang saham lama, maka BBTN akan menerima tambahan modal baru sebesar 4,1 triliun, alias ekuitasnya akan meningkat.

Namun demikian pada praktiknya, biasanya tidak seluruh pemegang saham perseroan akan menebus right-nya. Masih dari informasi prospektus, yang dipastikan menebus adalah pemerintah dengan nominal 2,48 triliun serta standby buyer CIMB Niaga Sekuritas sebesar 100 miliar. Sedangkan keberhasilan penebusan sisanya sebesar 1,5 triliun, akan sangat ditentukan persepsi publik terhadap fundamental serta prospek BBTN kedepannya. Jika kita hitung konservatif, katakanlah hanya 30% pemegang saham publik yang mengeksekusi right-nya maka, total tambahan modal untuk BBTN menjadi sekitar 3 triliun (2,48 triliun + 100 miliar + 450 miliar).

Di samping right issue, berdasarkan informasi dari Kementerian BUMN, BBTN juga berencana melakukan penjualan UUS-nya kepada BRIS. Dan apabila benar skemanya adalah penjualan langsung, maka hal ini turut berpotensi meningkatkan permodalan BBTN. Misalnya dengan aset UUS-BTN yang mencapai 38 triliun dan nilai buku 6,7 triliun, maka apabila mengacu penjualan pada PBV 1,5x, potensi dana yang akan diperoleh BBTN bisa mencapai 10 triliun. Sebagai catatan tambahan, penjualan UUS-BTN akan turut berdampak positif terhadap profitabilitas serta kualitas kredit BBTN. Mengingat rasio ROA dan NPF-Gross UUS-BTN yang masing-masing sebesar 0,48% dan 4,32%, dibandingkan BBTN yang memiliki ROA lebih tinggi sebesar 0,81% dan NPL-Gross lebih rendah 3,64% untuk segmen konvensionalnya.

Analisa SWOT BBTN. Sumber: Laporan Tahunan BBTN 2021

Sehingga diharapkan dengan adanya dua aksi korporasi di atas, dapat meningkatkan modal perusahaan sebesar 13 triliun (3 triliun dari right issue +10 triliun pernjualan UUS-BTN). Alhasil ekuitas BBTN dapat meningkat menjadi 34 triliun, dengan rasio DER yang berpotensi turun di bawah 10x. Di samping memperkuat permodalan, diharapkan dana baru yang diperoleh oleh perusahaan dapat dioptimalkan oleh manajemen untuk ekspansi usaha meningkatkan dana murah, memitigasi risiko dengan melakukan pencadangan yang lebih memadai, hingga disalurkan kembali sebagai pembiayaan produktif, yang pada akhirnya akan meningkatkan shareholders value. Oh iya, sedikit tambahan, sebetulnya apabila teman-teman membaca laporan tahunan perseroan, disebutkan juga beberapa aksi korporasi lainnya. Seperti lelang aset bermasalah, sekuritisasi aset, atau melakukan perombakan manajemen pasca mantan Direktur Utama BTN periode sebelumnya terkena kasus korupsi.

Okey, setelah kita pelajari fundamental, prospek, serta potensi atau dampak dari aksi korporasi kedepannya. Berikut adalah data historis serta valuasi BBTN sebelum dan setelah right issue-nya:

Rasio Fundamental BBTN, berdasarkan LK Q3-2022 diolah. Nilai dalam satuan miliar rupiah
Range Valuasi PBV BBTN 10 tahun terakhir. Sumber: www.stockbit.com

Dari dua data yang telah disajikan di atas. Pertama, teman-teman dapat melihat bahwa valuasi BBTN pada harga @1.365 diperdagangkan pada PBV 0,67x. Tetapi perlu dicermati, bahwa setelah aksi korporasi right issue-nya nanti, dengan asumsi diserap sepenuhnya oleh pemegang saham publik, maka rasio PBV perseroan akan otomatis naik menjadi 0,74x, hal ini dikarenakan jumlah saham beredar yang turut meningkat menjadi 14 miliar lembar. Kedua, berdasarkan data historisnya, BBTN pernah diperdagangkan pada PBV hampir 2,0x pada tahun 2018 dan serendah-rendahnya pada PBV 0,4x ketika pandemi merebak tahun 2020 silam.

Sehingga, setelah mempertimbangkan prospek, fundamental serta potensi rencana aksi korporasi kedepannya oleh perusahaan. Tentunya, diimbangi dengan risiko-risiko yang menaunginya, misalkan UUS-BTN tidak jadi diakusisi oleh BRIS, atau antisipasi adanya right issue jilid ke-3 (pada tahun 2012 silam BBTN pernah melakukan right issue juga), yang bukan tidak mungkin terjadi kembali di masa yang akan datang. Oleh karena itu, hemat penulis cukup rasional memperkirakan nilai wajar BBTN berada di kisaran PBV 1,1x – 1,2x, sedikit di atas rata-rata valuasinya selama 10 tahun terakhir, namun masih tetap lebih rendah dibandingkan valuasi BBNI yang notabene fundamentalnya relatif lebih baik. Thus, dengan peluang margin of safety 37%, menurut teman-teman cukup menarik kah saham BBTN saat ini?

Okeyy, sekian artikel kali ini. Harapan banyak, teman pembaca mendapatkan ilmu yang bermanfaat dari tulisan di atas. Always do your own research, wishing you best of luck and happy new year soon guys!

“In investing, all knowledge is cumulative, and the insights we acquire by putting in the effort today often help us in a serendipitous way at some time in the future. Work hard today to let good luck find you tomorrow.” – Gautam Baid

Those who keep learning, will keep rising in life.” – Charlie Munger

Tagged , , , ,

About Zomi Wijaya

Fundamentalist, Value Investor
View all posts by Zomi Wijaya →