Pada artikel sebelumnya, kita telah mengulas konsep beserta kelemahan-kelemahan penggunaan rasio Price to Earning (PER). Nah, di artikel kali ini, kita akan coba melanjutkan pembahasan rasio populer berikutnya, yaitu Price to Book Value (PBV). Yang harapannya, dapat menambah wawasan teman-teman pembaca semua, guna meminimalisir risiko pemilihan saham yang kerap disebut ‘value trap’. So yeap, mari kita mulai saja artikelnya:
Price to Book Ratio (PBV)
Melengkapi rasio PER yang tujuannya mengukur murah mahalnya saham, berdasarkan laba bersih perusahaan. Rasio PBV, mengukur nilai sebuah saham, berdasarkan aset bersih perusahaan dibandingkan harga sahamnya. Di mana rumus yang digunakan: Nilai Kapitalisasi Pasar / Ekuitas (yang diatribusikan kepada entitas induk). Atau bisa juga menggunakan rumus pada gambar di atas, sami mawon.
Back to basic, sebelum melangkah lebih jauh terkait rasio yang satu ini. Pertama, teman-teman perlu memahami, mengapa metrik yang digunakan adalah ekuitas (modal) perusahaan, dan bukan aset secara keseluruhan?
Well, hal ini dikarenakan aset sebuah perusahaan tidak benar-benar dimiliki oleh pemegang saham seutuhnya. Dikarenakan aset itu sendiri, selalu ada bagian yang didanai oleh liabilitas atau berhutang kepada pihak ketiga. Simpelnya, apabila sebuah perusahaan memiliki aset 1 triliun, kita harus gali berapa komposisi aset tersebut yang didanai oleh hutang, dan berapa yang menggunakan modal perusahaan. Thus, andaikata 60% aset perusahaan didanai oleh hutang, yakni sekitar 600 miliar. Berarti, hak yang benar-benar dimiliki oleh pemegang saham, hanyalah 400 miliar saja.
Alhasil, ketika perusahaan benar-benar melikuidasi seluruh asetnya, dengan asumsi terjual seluruhnya sesuai nilai tercatat. Maka dari dana 1 triliun tersebut, 600 miliar akan digunakan terlebih dahulu untuk memenuhi segala macam liabilitasnya. Kemudian, barulah sisanya dibagikan kepada seluruh pemegang saham perusahaan, tentunya sesuai dengan persentase kepemilikannya masing-masing. Dan inilah, yang mendasari penggunaan metrik ekuitas, dan bukan aset dalam penggunaan rasio PBV.
Lalu, bagaimana apabila kita menemukan satu saham dengan rasio PBV 1x? Itu artinya, harga sahamnya setara dengan ekuitas (nilai buku) yang tercatat di Laporan Keuangan (LK). Sedangkan apabila sebuah emiten memiliki PBV 0,7x, itu artinya teman-teman cukup membayar 7 rupiah, untuk memperoleh aset bersih perusahaan senilai 10 rupiah alias undervalue. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, semakin kecil rasio PBV, menandakan sahamnya semakin murah. Hal ini juga berlaku sebaliknya.
Tricky Parts
However, terdapat satu kelemahan dari penggunaan rasio PBV ini. Di mana karena keterbatasan pencatatan akuntansi, nilai aset yang tercatat di LK tidak akan pernah sama persis dengan nilai pasar sesungguhnya, bisa lebih besar, setara, ataupun lebih kecil. Ekstrimnya, perusahaan dengan PBV 0,5x, bisa jadi lebih mahal dibandingkan perusahaan dengan PBV 1x. Sehingga dalam hal ini, teman-teman perlu jeli, mengukur nilai wajar dari tiap aset yang dimiliki perusahaan.
Sebagai contoh, perusahaan yang bergerakan di bidang tekstil. Dikarenakan aset utama perusahaan terletak di bagian persediaan, maka risiko terbesarnya akan terjadi, apabila perusahaan gagal memutar/menjual produk-produk yang dimilikinya. Dan seandainya tidak laku terjual, sedangkan tren pasar sudah berubah. Misalnya ketinggalan model, atau baju musim dingin yang tidak habis terjual pasca berganti musim. Maka alih-alih dijual dengan keuntungan, mungkin produk tersebut harus dijual rugi, alias di bawah nilai persediaan yang tercatat di LK.
Thus, untuk perusahaan yang bergerak di industri manufaktur, rule of thumb-nya. Semakin banyak persediaan yang mendekati barang jadi, maka risikonya akan jauh lebih tinggi, dikarenakan nilai pasarnya yang bisa jadi lebih kecil/besar dibandingkan nilai tercatatnya. Sebaliknya, persediaan yang lebih mengarah ke bahan baku (komoditas), umumnya memiliki harga yang lebih stabil.
Selanjutnya, apakah mungkin perusahaan memiliki nilai aset yang lebih besar dibandingkan nilai yang tercatat di LK? Yeap, hal ini mungkin saja terjadi. Salah satu contohnya, dikarenakan asumsi manajemen yang extra konservatif terhadap umur manfaat aset, terdapat aset-aset yang telah disusutkan penuh namun masih berfungsi dengan baik. Atau bisa juga seperti contoh kasus saham Astra Otoparts (AUTO) di atas. Di mana perusahaan mencatatkan nilai tanah sebesar 790 miliar, namun nilai pasarnya mencapai 4,4 triliun, alias hampir 6x lebih besar. Dan itu artinya, jika teman-teman membeli saham AUTO ketika market terkoreksi kemarin di harga @800, ekuivalen nilai kapitalisasi 4 triliun. Maka emiten cukup menjual aset tanahnya saja, dan kita akan mendapatkan cash back 400 miliar, tanpa perlu menghitung aset perusahaan lainnya.
Nah, jadi sebetulnya hal-hal apa saja yang perlu kita perhatikan dalam mengukur PBV? Well, secara spesifik setiap industri memiliki karakteristiknya masing-masing. Namun demikian, secara umum berikut adalah beberapa catatan yang dapat teman-teman gunakan, dalam menganalisa aset sebuah perusahaan:
- Piutang Perusahaan
Berhati-hatilah terhadap piutang perusahaan yang: 1. Periode penagihannnya relatif lebih tinggi dibandingkan kompetitor sejenis atau industrinya. 2. Kolektibilitasnya semakin panjang, serta banyak piutang lebih dari 90 hari yang sulit tertagih. 3. Memiliki banyak akun piutang kepada pihak-pihak berelasi.
- Supplier atau buyer yang terkonsentrasi
Apabila teman-teman menemukan sebuah emiten yang sangat-amat mengandalkan satu pihak tertentu dalam menjalankan operasionalnya, berarti risiko dari perusahaan tersebut cukup tinggi. Dan jauh lebih aman perusahaan yang menjual produk/jasanya ke 100 konsumen, dibandingkan perusahaan yang hanya mengandalkan 1 konsumen saja. Karena andaikata satu konsumen, katakanlah tidak puas dengan produk/jasa yang diberikan, maka kita masih memiliki 99 konsumen lainnya.
- Aset dengan Indikasi Penurunan Nilai
Perhatikan juga aset-aset perusahaan yang memiliki potensi penurunan nilai. Dalam hal ini, bisa terjadi di akun piutang, persediaan, aset tetap, goodwill, dan sebagainya. Dan inilah sebabnya Buffett pernah mengatakan ‘staying inside your circle of competence‘, karena akan sangat sulit mengetahui risiko-risiko perusahaan, apabila kita tidak memahami bisnisnya.
Last but not least, apabila teman-teman menemukan pos-pos seperti goodwill, derivatif, ataupun ‘aset lainnya’, yang terkadang penjelasannya membingungkan atau bahkan tidak ada penjelasan sama sekali. Akan jauh lebih bijak, apabila kita abaikan dan keluarkan dari perhitungan rasio PBV.
Kesimpulan
So Yeap, itulah beberapa catatan yang dapat teman-teman pertimbangkan dalam menganalisa sebuah saham. Kedepannya, apabila teman-teman menemukan dua saham dengan nilai PBV yang sama persis 0,5x. Coba bandingkan, salah satunya pasti memiliki keunggulan kualitas aset yang lebih baik. Dan bisa saja, setelah dianalisa, saham yang lainnya ternyata memiliki kualitas aset yang buruk, sehingga alih-alih disebut saham murah, lebih tepat disebut ‘value trap’.
Okey, sekian artikel kali ini. Pada artikel selanjutnya, kita akan membahas mengenai value stock yang dari dulu harganya selalu didiskon oleh pasar. Dan apakah itu memang value stock, atau merupakan value trap? Well, ditunggu pada artikel berikutnya ya! Semoga artikel yang disampaikan di atas bermanfaat untuk teman pembaca semua. Good luck and happy investing guys!
“Proper accounting is like engineering. You need a margin of safety. Thank God we don’t design bridges and airplanes the way we do accounting.” – Charlie Munger
Menarik sekali artiklenya Pak Zomi, ditunggu artikel selanjutnya mengenai emiten2 yang selalu berada dibawah nilai intrinsiknya sedangkan sebagian mrk adalah prusahaan yang bagus tapi tidak prnh menyentuh nilainya.