Fundamental Analysis

Two Famous Ratio: PER and PBV

Price to Earning Ratio (PER) dan Price to Book Ratio (PBV), merupakan dua rasio paling umum digunakan kalayak investor dalam memvaluasi saham. Baik PER maupun PBV, memang filter yang baik untuk menemukan saham-saham murah. Namun demikian, sebelum teman-teman mengambil keputusan membeli sebuah saham semata-mata berdasarkan PER atau PBV yang menarik, kita perlu menguji angka-angka tersebut. Karena tentunya, terdapat kelebihan serta kekurangan dari kedua rasio di atas.

Kali ini kita akan mengulas kedua rasio tersebut. So yeap, tanpa panjang lebar mari kita mulai artikelnya:

Price to Earning Ratio

PER, merupakan hasil dari nilai kapitalisasi pasar sebuah perusahaan dibagi dengan labanya. Misal, saham Bank Central Asia (BBCA) memiliki kapitalisasi pasar 1.200 triliun. Dengan laba tahunan BBCA yang kurang lebih sekitar 50 triliun, akan diperoleh rasio PER sebesar 24x (1.200 / 50). Dengan kata lain, jika teman-teman membeli saham BBCA, kita akan balik modal dalam waktu 24 tahun mendatang, dengan asumsi laba perusahaan bersifat konstan. Dalam penerapannya, semakin kecil rasio PER menandakan semakin murah sebuah saham. Oh iya, bagi teman-teman yang belum tahu mengenai nilai kapitalisasi pasar. Kita dapat menghitung nilai tersebut dengan mengalikan harga saham dengan jumlah saham beredarnya. Dalam kasus BBCA, ketika artikel ini ditulis jumlah saham beredar perseroan adalah 123 miliar. Dikalikan dengan harga saham @9.800, akan diperoleh nilai kapitalisasi sekitar 1.200 triliun.

Kembali ke topik. Pada praktiknya, laba perusahaan sangat mudah terdistorsi oleh berbagai macam faktor. Mengingat secara umum, laba bersih diperoleh dengan mengurangi total pendapatan (omset) dengan beban pokok, untuk mendapatkan laba kotor. Kemudian dari laba kotor, kita masih perlu menyesuaikan dengan biaya usaha, biaya non-operasional, beban bunga, pajak, hingga akhirnya didapatkan laba bersih seutuhnya.

Sehingga akan sangat baik jika teman-teman memahami seluruh variabel-variabel yang mempengaruhi laba bersih. Misalnya dari pendapatan, produk atau jasa apa yang perusahaan jual. Setelah itu terkait beban pokok, seberapa signifikan kenaikan harga bahan baku tertentu terhadap biaya pembuatan produk. Atau contoh ekstrem lainnya, perusahaan bisa mendapatkan lonjakan laba bersih yang dihasilkan dari penjualan aset, divestasi anak usaha, kurs dan lain sebagainya, yang sebetulnya tidak ada hubungan dengan operasional bisnisnya.

Laporan Keuangan Lippo Karawaci Q3-2024. Sumber: idx.co.id

Ambil contoh Lippo Karawaci (LPKR) yang membukukan laba 18,7 triliun pada Q3-2024, naik dibandingkan laba 787 miliar pada periode sama tahun sebelumnya. Apabila ditelisik lebih lanjut, hal ini dikarenakan terdapat ‘Penghasilan Lainnya’ sebesar 22,9 triliun yang disebabkan adanya divestasi kepemilikan anak usaha LPKR. Alhasil, jika hanya melihat data PER yang disajikan di aplikasi saham, kita akan menemukan bahwa rasio PER perusahaan hanya 0,4x. Sedangkan sejatinya, bila kita mengesampingkan faktor ‘Penghasilan Lainnya’, mungkin emiten masih membukukan kerugian, dengan PER negatif.

Dus, dalam menganalisa rasio PER, akan lebih bijak jika teman-teman memperhatikan laba historis perseroan lima tahun ke belakang, atau lebih dari itu. Di samping perlu juga memahami struktur pendapatan, biaya, serta prospek perusahaan di masa yang akan datang.

Price to Book Ratio

PBV dapat diperoleh dengan membandingkan nilai kapitalisasi saham dengan ekuitasnya. Di mana untuk ekuitas, diperoleh dari mengurangi aset perusahaan dengan seluruh hutangnya, hingga diperoleh kekayaan bersih pemegang saham (Ekuitas = Aset – Liabilitas). Sebagai contoh, BBCA memiliki ekuitas 256 triliun, dengan kapitalisasi pasar 1.200 triliun maka PBV-nya adalah 4,7x (1.200 / 256). Angka 4,7 tersebut mengartikan bahwa, dengan membayar 4,7 rupiah, kita akan memperoleh 1 rupiah aset yang dimiliki perseroan. Bagaimana jika sebaliknya, perusahaan memiliki PBV 0,5x? Itu artinya, setiap 0,5 rupiah yang dibayarkan akan memperoleh aset bersih sebesar 1 rupiah. Atau bahasa kerennya ‘buying a dollar for 50 cents’. Kesimpulannya, semakin rendah rasio PBV mengindikasikan bahwa saham tersebut murah dibandingkan aset bersih yang dimilikinya.

Namun, sama halnya seperti PER, nilai PBV juga perlu diuji. Hal ini dikarenakan, kredibel atau tidaknya angka yang diperoleh, sangat dipengaruhi oleh kualitas aset yang dimiliki perusahaan. Seperti teman-teman ketahui, lumrahnya aset perusahaan terdiri dari aset lancar dengan pos-pos seperti kas, piutang, persediaan, dan aset lancar lainnya. Berikutnya aset tidak lancar, seperti tanah, gedung, mesin, aset tetap, hak cipta, goodwill, dan aset tidak lancar lainnya.

Dalam bukunya yang berjudul Security Analysis, Benjamin Graham menyampaikan bahwa tidak semua aset yang dimiliki sebuah perusahaan, bisa dilikuidasi sesuai nominal tercatatnya. Sebagai contoh: piutang, mungkin ada sebagian yang tidak bisa tertagih. Persediaan, bisa jadi terdapat produk yang kadaluarsa atau mengalami penurunan nilai. Aset tetap, ada potensi mesin yang digunakan teknologinya sudah ketinggalan zaman, atau jikapun dijual memerlukan proses yang cukup panjang. Di luar itu, terdapat juga komponen seperti goodwill, biaya dibayar di muka, atau kompensasi pajak, yang meskipun nilainya tercatat di laporan keuangan, tapi riil-nya tidak dapat dilikuidasi menjadi kas.

Laporan Keuangan Indofood Sukses Makmur Q3-2024. Sumber: idx.co.id

Seperti pada laporan keuangan Indofood Sukses Makmur (INDF), yang memiliki total aset 195 triliun. Namun terdapat faktor goodwill sebesar 56 triliun pada neraca perusahaan, akibat akuisisi yang pernah dilakukan pada masa lalu. Alhasil bilamana dihitung ulang secara konservatif, nilai aset perseroan sesungguhnya mungkin hanya 139 triliun (195 – 56). Sehingga jika INDF ketika artikel ini ditulis pada harga @7.700 memiliki PBV 1,0x, bila dihitung ulang PBV riil-nya bisa naik ke 1,8x. Yeap, teman-teman dapat menyesuaikan besaran diskon dari aset sebuah perusahaan sesuai dengan preferensi masing-masing. Misalkan dalam menganalisa saham net-net ala Benjamin Graham, beliau mendiskon piutang sebesar 20%, persediaan sebesar 50%, sedangkan aset tetap didiskon hingga 80%.

PER or PBV, which one is better?

Andaikan harus memilih satu, dari kedua rasio di atas. Mana sebaiknya yang diutamakan, rasio PER atau PBV? Hemat penulis hal tersebut bergantung dengan circle of competence masing-masing pribadi kita. Seandainya teman pembaca mampu dan cukup yakin dalam memahami variabel yang mempengaruhi laba bersih, serta bisa membaca prospek kinerja di masa yang akan datang. Maka sebaiknya kita lebih mengutamakan rasio PER. Karena ingat, sebuah perusahaan dibentuk untuk mencetak keuntungan, bukan dengan harapan agar bisa dilikuidasi. Dan sejujurnya, percuma juga seandainya perusahaan memiliki aset yang demikian banyak, tapi saban tahun malah membukukan kerugian, yang lama kelamaan akan menggerogoti nilai asetnya pula.

Sebaliknya, jika teman-teman kurang yakin dalam memperkirakan laba perusahaan ke depannya. Misal karena faktor di luar kontrol, harga komoditas, regulasi pemerintah dan lain sebagainya. Maka memilih saham-saham dengan PBV yang rendah juga bisa menawarkan margin of safety yang menarik. Karena seperti yang Buffett pernah katakan bahwa ‘If you buy a stock at a sufficiently low price, there will usually be some hiccup in the fortunes of the business that gives you a chance to unload at a decent profit.’

Hmm.. Namun penulis pikir-pikir lagi, yang lebih penting sebetulnya bukan rasio mana yang lebih bagus, melainkan seberapa dalam kita memahami rasio yang digunakan. Setuju? 🙂

.

Okey, sekalian artikel kali ini. Semoga teman pembaca mendapatkan ilmu yang bermanfaat dari artikel di atas. Happy new year 2025, wishing you all the best guys!

.

All investment is, laying out some money now to get more money back in the future. Now, there’s two ways of loking at the getting the money back. One is from what the asset itself will produce, that’s investment. One is from what somebody else will pay you for it later on, irrespective of what the asset produces, and I call that speculation. – Warren Buffett

Tagged , ,

About Zomi Wijaya

Fundamentalist, Value Investor
View all posts by Zomi Wijaya →

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *