Stock Analysis

Bank Rakyat Indonesia (BBRI) – To Become the Most Valuable Banking Group in Southeast Asia

Hingga akhir bulan November 2024, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 2,18% dibandingkan posisi awal tahunnya. Salah satu penekan IHSG adalah saham-saham keping biru dari indeks LQ45 yang terkoreksi secara agregat 12,52%. Dan dari berbagai saham di indeks LQ45, salah satu yang menarik perhatian penulis adalah Bank Rakyat Indonesia (BBRI), di mana harganya telah longsor lebih dalam lagi, yakni -25,76% year to date.

Apabila teman pembaca menelisik ke belakang, harga saham BBRI ketika artikel ini ditulis (@4.250) sama dengan harga sahamnya di awal tahun 2020 sebelum pandemi Covid-19 merebak. Pertanyaannya, apakah terdapat penurunan fundamental dari perseroan sehingga pasar tidak mengapresiasi sahamnya? Apakah mungkin valuasi BBRI pada saat itu tergolong overvalued sehingga harganya tidak kemana-mana? Ataukah ada hubungannya dengan perubahan visi perseroan di tahun 2021, yang bertepatan dengan akuisisi PT. Pegadaian dan PT. Permodalan Nasional Madani?

Well, pada artikel kali ini kita akan coba menjawab pertanyaan di atas. Yang mudah-mudahan dapat memberikan insight tambahan kepada teman-teman pembaca. Seperti biasa, mari kita kenali sedikit profil perusahaan yang usianya hampir 129 tahun ini:

Bank Rakyat Indonesia History

Cikal bakal BBRI dimulai pada 16 Desember 1895, di Purwokerto, Jawa Tengah. Didirikan oleh Raden Aria Wirjaatmadja dengan nama De Poerwokertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden, perusahaan saat itu merupakan bank bagi kalangan priyayi (bangsawan). Hingga akhirnya setahun pasca kemerdekaan di 1946, pemerintah mengambil alih dan menjadikannya sebagai Bank Pemerintah pertama di Republik Indonesia. Sedari awal, BBRI memang ditugaskan untuk melayani golongan wong cilik, seperti petani dan nelayan. Yang mana, hal ini terus berlanjut hingga kini, di mana perusahaan tetap memfokuskan menyalurkan kreditnya ke segmen UMKM.

Singkat cerita, pada tahun 2003 pemerintah Indonesia melakukan privatisasi sebagian kepemilikannya di BBRI. Yakni dengan melakukan penawaran umum saham di Bursa Efek Indonesia, sehingga masyarakat dapat turut menikmati perkembangan perusahaan. Merujuk data biro administrasi efek bulan Oktober 2024, Kementerian BUMN masih memegang 53,188% saham BBRI, sedangkan sisanya dimiliki oleh 586.130 pemodal, baik dari dalam maupun luar negeri.

Berdasarkan informasi manajemen di laporan tahunannya, BBRI adalah bank dengan jaringan usaha terluas di nusantara. Yang didukung oleh berbagai macam perpanjangan tangan, seperti 7.700 lebih jaringan kantor, 200 ribu layanan e-channel (ATM, EDC, CRM dan lainnya), Laku Pandai BRILink yang telah tembus 1 juta keagenan, serta 9 kantor cabang luar negeri yang turut mendukung operasional bisnis perusahaan. Seiring dengan perkembangan digitalisasi BBRI juga memiliki mobile banking, e-banking, ataupun jasa perbankan lain pada umumnya yang disediakan untuk melayani 170 juta rekening yang dikelola perseroan.

Mengutip laporan majalah Fortune, pada tahun 2023 kemarin BBRI didapuk sebagai perusahaan dengan laba terbesar ke-2 (60 triliun) setelah Pertamina (68 triliun) dari seluruh perusahaan di Indonesia. Perseroan juga memantapkan posisinya di industri perbankan, sebagai bank dengan laba terbesar berturut-turut dalam 17 tahun terakhir. Ke depan dengan visi baru perseroan “The Most Valuable Banking Group in Southeast Asia & Champion in Financial Inclusion”, manajemen memiliki target untuk meningkatkan kapitalisasi pasar BBRI menjadi $75 miliar dan meningkatkan inklusi keuangan masyarakat Indonesia ke 90% di tahun 2025. Di mana salah satu strategi untuk mencapai visi tersebut adalah menjadikan BBRI sebagai induk dari holding ultra mikro.

Ultra Micro Holding

Daftar Anak Usaha BBRI. Sumber: Materi Presentasi Q3-2024

Kini BBRI merupakan sebuah grup finansial yang membawahi sepuluh anak usaha dari berbagai macam industri keuangan. Namun demikian, apabila teman pembaca menyelidiki lebih lanjut, anak usaha yang kontribusinya paling signifikan adalah Pegadaian dan Permodalan Nasional Madani (PNM), yang baru diakuisisi di tahun 2021. Sebagai perbandingan, dari laba konsolidasi BBRI di tahun 2023 yang mencapai 60 triliun, sebesar 53 triliun berasal dari kinerja individu BBRI (bank only), Pegadaian memberikan kontribusi 4,4 triliun, PNM 1,6 triliun, dan sisanya dari anak usaha lainnya. Alhasil dapat kita simpulkan bahwa 98% laba BBRI, disumbang oleh BBRI (bank only), Pegadaian dan PNM.

Bagi teman-teman yang belum tahu latar belakang BBRI mengakuisisi Pegadaian dan PNM untuk setelahnya menjadi induk holding ultra mikro, adalah untuk menciptakan sinergi bagi ketiganya. BBRI mendapatkan sumber pertumbuhan baru dengan masuk ke segmen ultra mikro, serta meningkatkan jumlah nasabahnya. Di sisi lain Pegadaian dan PNM yang tidak memiliki izin menghimpun dana masyarakat, dapat memperoleh biaya dana yang relatif lebih murah dengan dukungan BBRI. Lebih dari itu, pemerintah juga mengharapkan adanya peningkatan inklusi serta literasi keuangan dari masyarakat Indonesia yang saat ini masih berstatus unbanked (tidak memiliki rekening bank), yang diperkirakan mencapai 100 juta jiwa atau 48% dari total penduduk dewasa Indonesia.

Selayaknya adagium tak kenal maka tak sayang. Maka mari kita kenali kedua perusahaan tersebut, yakni Pegadaian dan PNM:

Pegadaian lahir pada tanggal 1 April 1901 di Sukabumi, Jawa Barat. Dan di usianya yang tidak terpaut jauh dengan BBRI, Pegadaian menyediakan berbagai macam produk meliputi jual beli emas, tabungan emas, pembiayaan multiguna, agen pembayaran tagihan, jasa penitipan emas, hingga ekspansi terbaru adalah mendirikan The Gade Coffee & Gold. Kedai kopi yang menyediakan aneka makanan dan minuman, dengan gol untuk memperkenalkan produk-produk Pegadaian ke masyarakat luas, khususnya kawula muda.

Dijelaskan pula oleh manajemen Pegadaian, bahwa target pembiayaan perseroan menyasar segmen dengan plafon yang relatif kecil, mulai dari 50.000 rupiah. Di samping itu jangka waktu pinjamannya, secara umum kurang dari 4 bulan, dengan bunga per harinya sebesar 0,09%. Well, jika teman pembaca hitung, bunga 0,09% tersebut jika disetahunkan nilainya lebih dari 32%. Sangat tinggi sekali, namun manajemen berdalih bahwa Pegadaian menyediakan layanan yang memang disesuaikan dengan target marketnya, yakni mudah diakses, terjangkau dan pencairannya cepat. Katakanlah pedagang bakso yang meminjam 1 juta ke Pegadaian dengan bunga di atas, maka perhitungan bunga perharinya adalah 900 rupiah, yang sebetulnya memang benar relatif tidak terlalu besar dibandingkan nilai pinjaman awalnya. Keunggulan lain setelah menjadi anak usaha BBRI adalah, bagi debitur lancar, berkesempatan untuk naik kelas menjadi peminjam di BRI, tentunya dengan bunga yang relatif lebih rendah.

Pangsa Pasar PT. Pegadaian mencapai 97,38% dibandingkan Industri Pergadaian. Sumber: Laporan Tahunan Pegadaian 2023

Pada tahun 2023, Pegadaian membukukan kinerja yang cukup apik. Dengan laba bersih 4,4 triliun dan rasio Return on Asset (ROA) 5,6%, Return on Equtiy (ROE) 14,3%, dan Non Performing Loan (NPL)-Gross 0,85%. Kemudian apabila teman-teman telisik nilai akuisisi BBRI kepada Pegadaian yang sebesar 49 triliun, mencerminkan valuasi PER 24x dengan laba Pegadaian yang 2 triliun di tahun 2020. Nah, dengan fundamental Pegadaian yang superior (ROA konsisten di atas 4% termasuk tahun 2020), CAGR laba bersih 9% per tahunnya, market leader di industri gadai, maka harusnya nilai akuisisi tersebut wajar atau bahkan tergolong murah. Terbukti dari kinerja Pegadaian yang terus tumbuh, hingga tahun 2023 kemarin membukukan laba 4,4 triliun.

Berbeda dengan BBRI ataupun Pegadaian yang umurnya sudah satu abad lebih, PNM tergolong memiliki usia yang masih belia, yaitu 25 tahun. Dibentuk pada 1 Juni 1999, PNM dibentuk oleh Pemerintah dengan tujuan membuka pembiayaan modal usaha tanpa agunan bagi keluarga prasejahtera, khususnya perempuan. Sebetulnya apabila teman-teman telisik, bisnis model PNM menyerupai Grameen Bank dari Bangladesh, yang didirikan oleh peraih nobel Muhammad Yunus.

Saat ini, PNM hanya fokus melayani dua jenis macam pembiayaan: 1. Mekaar (Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera), dan 2. Ulamm (Unit Layanan Modal Mikro). Di mana sejalan dengan visi BBRI untuk meningkatkan inklusi keuangan, target utama PNM adalah masyarakat pra-sejahtera yang belum memiliki tabungan.

Pangsa Pasar PT. Permodalan Nasional Madani 60% dibandingkan Kompetitor Sejenis. Sumber: Laporan Tahunan PNM 2023

Mekaar, merupakan pembiayaan ultra mikro yang sifatnya untuk kelompok (tanggung renteng). Bagi peserta yang ingin memperoleh pembiayaan serta pendampingan, wajib mengikuti pelatihan secara 5 hari berturut-turut. Dan karena sifatnya kelompok, maka masing-masing anggota memiliki tanggung jawab apabila terdapat anggota lainnya yang tidak mampu memenuhi kewajibannya. Plafon dari pinjaman Mekaar dimulai dari 2 juta, dan setinggi-tingginya 10 juta jika profil peminjam bagus. And yeap, karena risiko pinjaman yang sangat besar, dikarenakan tidak adanya agunan, maka perlu dikompensasi oleh bunga pinjaman yang juga relatif tinggi, yakni sekitar 25%/tahun. Bagi teman-teman yang belum tahu, kompetitor terdekat PNM untuk produk Mekaar, adalah BTPN Syariah (BTPS),

Sedangkan untuk Ulamm, target marketnya berada di atas pinjaman Mekaar. Dengan plafon pembiayaan 10 juta – 200 juta. Di mana produknya sudah mulai menyerupai bank, dengan adanya kewajiban usaha yang telah berjalan bagi debitur, serta perlu didukung adanya jaminan. Sedangkan untuk bunga pinjamannya berkisar 19%/tahunnya.

Pada 2021 BBRI mengakuisisi PNM senilai 6 triliun, apabila dibandingkan dengan labanya saat itu 350 miliar, maka mencerminkan valuasi PER 17x. Keputusan BBRI mengakuisisi PNM pada valuasi tersebut sangat menarik, dikarenakan jika melihat laba PNM yang mencapai 1,6 triliun di tahun 2023, artinya PER akuisisi BBRI sekitar 4x. Hal ini juga didukung dengan CAGR pertumbuhan laba PNM 8 tahun terakhir, yang mencapai 39% per tahunnya.

Okey, secara keseluruhan strategi BBRI mengakuisisi Pegadaian dan PNM harusnya cukup berhasil. Terbukti dari kinerja ketiganya yang terus bertumbuh pasca akuisisinya selesai di tahun 2021. Hal ini dapat dilihat dari perspektif keuangan maupun non-keuangan. Jika demikian, lantas apa penyebab utama BBRI mengalami penurunan saham yang cukup dalam?

Guidance Kinerja Keuangan BBRI 2024

Hemat penulis, hal ini disebabkan kinerja BBRI yang kalau di tahun sebelumnya berhasil memenuhi atau bahkan melebihi ekspektasi market. Di tahun 2024 ini, belum berhasil mencapai target yang dicanangkan perseroan. Memang berdasarkan pengakuan manajemen, terdapat pemburukan kualitas aset yang terjadi sepanjang tahun ini. Di mana hal ini membuat perseroan harus memitigasi risiko dengan menyeleksi penyaluran kredit lebih ketat, misanya bagi para mantri BRI dengan profil peminjam NPL > 5%, maka difokuskan untuk melakukan penagihan terlebih dahulu sebelum memberikan kredit baru. Alhasil kredit BBRI hingga September 2024, hanya tumbuh 8,2%, di bawah target 10% – 12%, dan lebih rendah dari pertumbuhan kredit tahun 2023 yang mencapai 11,2%.

Selain itu, Net Interest Margin (NIM) perseroan juga berada di level 7,7%, atau di range bawah target manajemen 7,6% – 8,0%, dan turun dibandingkan NIM tahun lalu yang sebesar 7,95%. Hal ini disebabkan adanya persaingan likuiditas seiring tertundanya penurunan suku bunga The Fed, dan kompetitor instrumen penempatan dana seperti SRBI. Setelah itu ada juga pemburukan kualitas aset BBRI, yang tercermin dari biaya kredit (credit cost) yang meningkat ke 3,39%, baik dari level 2,37% tahun lalu, pun masih di atas guidance manajemen yang maksimum 3% di tahun ini. Selebihnya untuk NPL dan Cost to Income Ratio (CIR) masih aman, alias berada di area guidance manajemen.

Sehingga tekanan untuk saham BBRI, mungkin dikarenakan ekspektasi pasar yang belum dapat dipenuhi oleh perseroan. Di sisi lain terdapat juga sentimen negatif seperti penurunan bobot BBRI untuk IHSG periode Oktober – Desember 2024, serta faktor kondisi market yang minim sentimen positif belakangan ini. Okey, setelah mengupas sedikit fundamental BBRI, berikutnya mari kita lihat valuasi emiten yang harga sahamnya telah turun 25% ini.

Valuation Wise

Mengutip data keuangan BBRI terbaru (Q3-2024), teman-teman dapat menemukan bahwa laba bersih disetahunkan BBRI sekitar 61 triliun, dengan posisi liabilitas 1.632 triliun dan ekuitas 323 triliun. Alhasil pada kapitalisasi pasar 641 triliun (@4.250 x saham beredar 151 miliar), kita akan mendapatkan rasio keuangan sederhana seperti ROE 19%, DER 5,0x, PER 10,5x dan PBV 2,0x.

Dari beberapa rasio di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja BBRI sangat baik. Terlihat dari ROE 19%, yang diperoleh dengan leverage relatif rendah dibandingkan bank umum lainnya (DER 5,0x). Sedangkan untuk valuasinya secara nilai absolut, boleh dikatakan cukup fair di posisinya saat ini (PER 10,5x dan PBV 2,0x). Namun demikian, mengingat posisi BBRI sebagai emiten keping biru yang terbukti dengan performa mendukung, laba terbesar di industri perbankan, dan ke-2 seantero perusahaan di Indonesia, tentu kita bisa memvaluasi sahamnya lebih premium. Untuk itu, mari kita lihat valuasi historis dari BBRI:

PBV Standard Deviation BBRI. Sumber: stockbit.com

Selama 10 tahun terakhir PBV terendah BBRI berada di area 1,84x (mengesampingkan valuasi BBRI tahun 2020), atau tidak jauh dengan valuasinya saat ini di PBV 1,99x. Dan seandainya kita mengasumsikan bahwa nilai wajar BBRI di sekitar rata-rata valuasi 10 tahun terakhir, PBV 2,53x. Maka sahamnya saat ini menawarkan Margin of Safety (MoS) sebesar 21% [(2,53-1,99)/2,53].

Walakin, tingkat toleransi MoS tiap orang bisa berbeda satu sama lainnya. Sehingga bagi kita yang mungkin cukup nyaman dengan MoS 21% memiliki opsi untuk mulai mengoleksi saham BBRI. Namun demikian, bagi teman-teman pembaca yang ingin menawar lebih tinggi, boleh menunggu seandainya ada koreksi lanjutan dari emiten yang satu ini. Seperti yang Daddy Buffett katakan, bahwa, “Mr. Market is there to serve you, not to guide you.

Oh iya, sebagai informasi tambahan yang penulis dapati ketika mengikuti public expose dan analyst meeting BBRI. Pertama, disampaikan oleh manajemen perseroan bahwa biaya kredit (credit cost) yang masih tinggi hingga Q3-2024, dikarenakan manajemen melakukan front loading pencadangan di awal hingga pertengahan tahun. Maksudnya adalah, mereka menyisihkan sebagian laba perusahaan untuk mengantisipasi kredit macet lebih awal, yang harapannya pada akhir tahun perusahaan tidak terlalu agresif menyisihkan pencadangan lagi. Diupayakan pada akhir tahun biaya kredit perseroan bisa kembali ke range guidance, atau sedikit di atas itu.

Kedua, manajemen juga berencana untuk membagikan dividen dengan payout ratio minimal sama seperti tahun lalu (80%), atau diusahakan bisa lebih tinggi lagi. Tidak menutup kemungkinan, perusahaan akan kembali membagikan dividen interim. Terakhir, meskipun skala bisnis BBRI sudah sangat besar dibandingkan bank ataupun industri perbankan itu sendiri, manajemen beranggapan bahwa masih terdapat potensi-potensi pertumbuhan yang dapat dioptimalkan, terutama melihat banyaknya masyarakat Indonesia yang berstatus unbanked dan underbanked.

Thus, teman-teman perlu ingat bahwa tetap ada faktor bias dari apa yang disampaikan oleh manajemen langsung. Hemat penulis, tetap ada risiko yang mengintai BBRI, seperti misalnya daya beli masyarakat yang terus melemah, mengingat rencana pemerintah untuk menaikkan PPN ke 12% tahun depan. Pemburukan kredit ultra mikro yang terus berlanjut, khususnya dari PNM. Pula, likuiditas yang masih ketat dikarenakan kemampuan Bank Indonesia yang belum bisa menurunkan suku bunganya secara agresif mengikuti The Fed.

So, karena sebentar lagi market akan menyongsong tahun 2025, dan kebetulan tahun depan manajemen BBRI punya target untuk mencapai kapitalisasi pasar $75 miliar (1.200 triliun). Sebaiknya kita tidak berharap banyak dengan gol yang cukup ambisius tersebut. Namun, jika teman-teman mengharapkan target yang lebih rasional, misanya BBRI naik kembali ke valuasi rata-ratanya 10 tahun terakhir di PBV 2,5x dengan kapitalisasi pasar 820 triliun (@5.400), harusnya angan-angan tersebut bukanlah mimpi di siang bolong.

.

Okey, sekian artikel kali ini. Mudah-mudahan teman pembaca mendapatkan ilmu yang bermanfaat dari tulis-tulisan di atas. Mohon maaf apabila ada kesalahan kata atau hal yang kurang berkenan. Tetap semangat bagi para holder BBRI. Good luck and happy investing guys!

.

The oracle was Aesop and his enduring, though somewhat incomplete, investment insight was “a bird in the hand is worth two in the bush.” To flesh out this principle, you must answer only three questions. How certain are you that there are indeed birds in the bush? When will they emerge and how many will there be? What is the risk-free interest rate? If you can answer these three questions, you will know the maximum value of the bush and the maximum number of the birds you now possess that should be offered for it. And, of course, don’t literally think birds. Think dollars. – Warren Buffett

Tagged ,

About Zomi Wijaya

Fundamentalist, Value Investor
View all posts by Zomi Wijaya →

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *