Stock Analysis

Indonesia Kendaraan Terminal (IPCC) – Facing Obstacles

Sudah jatuh tertimpa tangga. Begitulah kira-kira situasi yang dialami oleh emiten bernama Indonesia Kendaraan Terminal (IPCC) pada tahun 2020 kemarin. Yeap, apabila di sepanjang tahun 2019 perusahaan berhasil mencetak laba 135 miliar. Maka berdasarkan Laporan Keuangan (LK) terbarunya ketika artikel ini ditulis (Q3-2020), IPCC harus menelan kerugian sebesar 32,7 miliar. Dan tidak hanya itu, optimisme manajemen memenangkan tender operator Pelabuhan Patimban juga harus kandas, dikalahkan konsorsium CTCorp Infrastruktur Indonesia, milik Pak Chairul Tanjung.

Nah, sebetulnya apa sih yang menyebabkan IPCC bisa mengalami penurunan kinerja sedrastis itu? Dan bagaimana dampak gagalnya emiten memenangi tender pelabuhan yang digadang-gadang terbesar kedua di Indonesia ini? Well, mari kita pelajari sekarang:

Indonesia Kendaraan Terminal (IPCC)

Sejarah perusahaan dimulai pada tahun 2007. Di mana induk usaha IPCC, yaitu PT. Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II) membentuk satu unit bisnis yang khusus mengelola terminal kendaraan di Tanjung Priok. Hal ini tidak lain disebabkan pertumbuhan industri otomotif yang pesat pada saat itu. Sebagai contoh, apabila kita melihat data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil di Indonesia pada tahun 2000 hanya sebesar 301 ribu unit, lalu meningkat menjadi 534 ribu di tahun 2005, dan terus bertumbuh hingga pada tahun 2012 menembus angka penjualan 1,1 juta unit.

Singkat cerita, karena adanya strategi baru dari manajemen, didukung pertumbuhan penjualan mobil yang signifikan. Maka tepat di tahun 2012, IPCC resmi berdiri sebagai entitas mandiri, yang tentunya masih di bawah Pelindo II. Dan setelah itu, barulah pada tahun 2018 perseroan mencatatkan diri sebagai salah satu perusahaan terbuka di Bursa Efek Indonesia (BEI), sampai akhirnya menjadi ajang investasi dan spekulasi pelaku pasar modal.

Sumber: Laporan Tahunan IPCC 2019

Nah, berdasarkan Laporan Tahunan (LT) 2019, perusahaan memiliki 4 macam sumber pendapatan. Di antaranya adalah: 1. Pendapatan jasa terminal bongkar muat kendaraan (mobil, motor, alat berat, beserta komponen pendukungnya) 2. Pendapatan jasa barang, yakni ekspor & impor kendaraan 3. Pendapatan rupa-rupa usaha, misalnya dari permintaan spesifikasi tertentu dari konsumen negara tujuan, IPCC apabila memungkinkan dapat memenuhi permintaan tersebut (value added service) 4. Dan terakhir, adalah pendapatan utilisasi yang didapatkan dari pengusahaan tanah, bangunan, air dan listrik. Thus, jika teman-teman telisik, maka sebetulnya 98,5% pendapatan IPCC masih berasal dari 2 segmen utamanya, sehingga analisa kita dapat fokus ke bidang usaha jasa terminal dan barang saja.

And yeap, seperti yang sudah dibahas di atas, teman-teman dapat melihat bahwa kinerja IPCC sangat dipengaruhi oleh industri otomotif di Indonesia secara khusus, dan Asia secara umum (2 negara tujuan utama ekspor IPCC, adalah Vietnam dan Filipina). Dan unfortunately, berdasarkan pemaparan Gaikindo terbaru, penjualan mobil nasional dari pabrikan ke dealer (wholesales) turun 48,35%, dari sekitar 1 jutaan, ke level 15 tahun yang lalu, yaitu 532ribu unit. Tidak hanya itu, dengan adanya PSBB antar wilayah, ditambah lockdown pada negara-negara tujuan, maka operasional IPCC dalam proses bongkar muat kendaraan, baik pengiriman antar pulau/negara juga terhambat. Alhasil, terjadi perubahan drastis dari kinerja perusahaan.

Okey, sekarang bagaimana dengan prospek usahanya? Bukankan kedepannya penjualan mobil akan kembali normal? Di tambah ada target penjualan 2 juta unit kendaraan dari Gaikindo? Well, sebelumnya mari kita pelajari seluk beluk fundamental perusahaan:

Fundamental Analysis

Profitabilitas

Sumber: Laporan Tahunan IPCC 2019

Apabila teman-teman perhatikan pencapaian emiten 5 tahun kebelakang, kita dapat melihat bahwa kinerja perusahaan sangatlah gemilang, khususnya di tahun 2015-2017 (ROE 44-54%). Hal ini dikarenakan IPCC, merupakan satu-satunya pengelola terminal kendaraan di Indonesia, alias bisa dikatakan monopoli. Sedangkan untuk tahun 2018 dan seterusnya, rasio profitabilitas perusahaan meskipun masih cukup baik, namun menurun diakibatkan perolehan dana hasil IPO sebesar 800 miliar yang belum produktif.

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 73

Sumber: Laporan Keuangan IPCC Q3-2020

Selanjutnya, jika teman-teman perhatikan LK terbaru IPCC saat ini. Terjadi kenaikan aset yang signifikan, dari 1,26 triliun menjadi 1,86 triliun. Dan karena kita ketahui bahwa perusahaan sepanjang tahun kemarin membukukan kerugian. Itu artinya, kenaikan aset berasal dari sisi liabilitas, atau lebih tepatnya dikarenakan pemberlakuan PSAK 73. Di mana perubahan metode akuntansi ini, menyebabkan perusahaan yang sebelumnya dapat memilih klasifikasi pencatatan operating lease, yang notabene lebih menguntungkan dari sisi neraca, harus dirubah menjadi finance lease. Yang implikasinya, hutang perusahaan jadi terlihat lebih besar, dan alhasil rasio Debt to Equity Ratio-nya (DER) menjadi lebih tinggi.

Namun demikian, peningkatan pencatatan hutang ini masih dapat dikatakan aman. Dikarenakan rasio DER IPCC yang masih di bawah 1x, dan posisi kas perusahaan yang cukup kuat, yakni sebesar 524 miliar alias sekitar 28% dari komposisi aset perusahaan.

Dividen

Sumber: Laporan Tahunan IPCC 2019, diolah

Terkait valuasi, sejujurnya baik dari segi PER (-27,3x) dan PBV (1,2x), maka sahamnya belum menawarkan risk and reward yang menarik. However, apabila teman-teman melihat sejarah pembagian dividen perusahaan pada gambar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa IPCC ini, termasuk segelintir emiten di BEI yang royal membagikan dividen dengan yield yang tinggi. Misalkan tahun 2022, sesuai dengan banyak ahli yang mengatakan industri otomotif bisa pulih sepenuhnya, sehingga laba IPCC kembali sama seperti tahun 2019 silam. Maka dengan rasio pembayaran dividen yang sama (75%), di harga @600, yield-nya mencapai 9%, alias 2x suku bunga deposito yang dijamin oleh BPS ketika artikel ini ditulis.

Tetapi, sekali lagi. Itu masih sebatas asumsi bahwa IPCC telah pulih sepenuhnya di tahun 2022 nanti. Dan ingat, bahwa ketika perusahaan membukukan laba di tahun 2022, maka umumnya teman-teman baru bisa mencicipi dividen tersebut 1 tahun setelahnya, yakni di tahun 2023. Thus, di luar itu ada 2 hal yang membuat penulis pesimis IPCC bisa membagikan dividen seroyal 4-5 tahun yang lalu:

1. Adanya persaingan bisnis operator terminal kendaraan yang lebih ketat. Hal ini dikarenakan mulai beroperasinya pelabuhan patimban yang pengembangannya masih terus berlanjut.

Sumber: Laporan Tahunan IPCC 2019, diolah

Dan informasi dari manajemen IPCC sendiri, ketika mereka kelihatannya masih cukup optimis memenangi tender tersebut. Potensi perpindahan throughput CBU dari Tanjung Priok ke Patimban, bisa mencapai 25%. Sehingga kita dapat memperkirakan adanya potensi penurunan omset IPCC kedepannya, diakibatkan munculnya pesaing baru.

2. Terdapat perjanjian signifikan, di mana IPCC berkewajiban membayar 1,3 triliun yang diangsur selama 3x setiap 5 tahun, atas penggunaan aset-aset dan dermaga yang dimiliki oleh Pelindo II. Yang anehnya, perjanjian ini baru dibuat pada tanggal 17 Desember 2018, tidak lama setelah IPCC baru saja menghelat aksi IPO, di bulan Juli 2018.

Perjanjian Signifikan IPCC. Sumber: LK Q4-2019 IPCC, audited

Hitungan sederhananya seperti ini. Total biaya yang harus dibayar perusahaan sebesar 1,3 triliun Rupiah, dan telah dibayar 320 miliar pada tanggal 28 Desember 2018 lalu. Sehingga terdapat sisa pembayaran, sebanyak hampir 1 triliun yang harus dipenuhi IPCC, dengan rincian 439 miliar jatuh tempo di tahun 2023, dan 553 miliar pada tahun 2028. Dan itu artinya, karena saat ini IPCC masih memiliki kas 524 miliar, manajemen masih harus mengumpulkan dana sekitar 500 miliar lagi dalam periode 2022-2028, hanya untuk memenuhi kewajiban perjanjiannya.

Kesimpulan

Nah, sekarang pertanyaannya adalah, apakah IPCC mampu mengumpulkan dana tersebut dalam 7 tahun kedepan? Hemat penulis, yeap tentu saja bisa. Karena, katakanlah perusahaan membukukan arus kas operasi positif per tahun 100 miliar saja, maka dana yang terkumpul, sudah sangat cukup untuk memenuhi kewajiban perjanjiannya. Hal ini tidak lain didukung economic moat IPCC, meskipun dengan adanya pelabuhan Patimban, namun pelabuhan Tanjung Priok tetap akan menjadi jantung logistik di Indonesia. Dan perlu diingat, bahwasanya hutang tersebut merupakan hutang afiliasi, yang rasanya tidak mungkin induk usaha setega itu, mempailitkan anak usahanya sendiri.

Thus, pertanyaan berikutnya yang jauh lebih penting adalah value apa yang tersisa, khususnya untuk minority shareholders perusahaan? Karena dengan analisa di atas, implikasinya kita tidak mungkin mengharapkan dividen jumbo dari IPCC seperti tahun-tahun silam yang lalu. Dan kenapa kesannya IPCC ini seperti cash cow induk usahanya ya. Well, bagaimana menurut pandangan teman-teman pembaca? 🙂

Okeyy, artikelnya kita akhiri sampai di sini dulu. Semoga seluruh teman pembaca mendapatkan ilmu yang bermanfaat dari artikel di atas. Good luck and happy investing guys!

“Investment must be rational; if you can’t understand it, don’t do it.” – Warren Buffett

Tagged

About Zomi Wijaya

Fundamentalist, Value Investor
View all posts by Zomi Wijaya →

4 thoughts on “Indonesia Kendaraan Terminal (IPCC) – Facing Obstacles

  1. Thanks for sharing, selalu menantikan posting pak Zomi. Untuk IPCC menurut opini saya termasuk perusahaan yg valuable karena economic moat yg dibahas di atas. I think untuk harga di 600/share di tahun 2021 masih undervalued untuk bisnis monopoli / duopoli setelah patimban beroperasi. Ditunggu posting selanjutnya pak!

  2. IPCC sampai sekarang masih menjadi watchlist saya, terima kasih pencerahannya pak, tetap semangat menulis ya.

  3. IPCC secara bisnisnya monopoli dan mamiliki moat yang cukup bagus dengan regulasi dari pemerintah bahwa tidak sembarang perusahaan bisa membuat pelabuhan.

    Mudah-mudahan industri otomotive Indonesia terus bertumbuh khususnya untuk ekspor mobil bisa tercapai di angka 1 juta CBU.

Comments are closed.