Life as a Value Investor

Rational Expectation

Howard Marks, pendiri Oaktree Capital, salah seorang yang dihormati Warren Buffett. Mengatakan dalam bukunya bahwa ‘no investment activity is likely to be successful unless the return goal is (a) explicit and (b) reasonable in the absolute and relative to the risk entailed.’ Di mana pada intinya, beliau menekankan bahwa apabila ingin sukses berinvestasi (bukan hanya di saham saja), kita wajib memiliki tujuan sedari awal yang jelas dan masuk akal, seiring dengan risiko yang menyertainya.

Nah, kebetulan salah satu pertanyaan yang kerap diajukan oleh seorang kerabat ataupun teman-teman yang masih awam berinvestasi, mereka sering menanyakan: ‘Berapa sih, return investasi saham per tahunnya?’ Dan tidak sedikit yang memiliki ekspektasi, investasi saham bisa mengantongi keuntungan X% per harinya. Well, biasanya jawaban penulis terhadap kawan tersebut adalah: jangan terlalu berharap tinggi dulu, karena alih-alih meraup keuntungan, kebanyakan investor yang belum berpengalaman harus membayar ‘ongkos belajar’ terlebih dahulu.

So yeap, pada artikel kali ini kita akan coba membahas ekspektasi return yang dapat diperoleh dengan berinvestasi saham. Karena perlu diingat, bahwa semakin tinggi imbal hasil yang diharapkan, kitapun harus siap dengan risiko yang membayanginya. Okey, supaya sepaham, mari kita mulai dari yang namanya:

Indeks Harga Saham Gabungan)

Salah satu acuan yang paling mudah untuk mengukur pertumbuhan investasi saham, adalah melihat perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang merupakan cerminan pergerakan seluruh saham-saham yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Simpelnya, apabila ada 700 perusahaan terbuka yang terdaftar di BEI, maka masing-masing pergerakan saham tersebut akan mempengaruhi pergerakan IHSG, sesuai dengan bobotnya masing-masing. Misalkan 500 dari 700 emiten tersebut naik, maka seharusnya IHSG akan terapresiasi. Sebaliknya, apabila lebih banyak saham yang turun dibandingkan yang naik, maka IHSG akan turun, atau bahasa kerennya terkoreksi. Sebagai contoh tambahan, jika teman-teman pernah mendengar berita di media yang mengatakan ‘IHSG Terperosok, Hampir 300 Triliun Lari’. Nah, itu artinya banyak saham-saham yang mengalami penurunan harga signifikan. However, kalau misalkan tetangga kita membicarakan IHSG naik dengan berbagai macam istilah: all time high, bullish, uptrend, dan semacamnya, itu menandakan bahwa saham-saham sedang mengalami kenaikan, dan umumnya senyum orang-orang lebih lebar daripada biasanya 🙂

Grafik Pertumbuhan IHSG Sumber: tirto.id

Thus, menelisik IHSG jauh kebelakang, yakni ketika pertama kali diresmikan pada tahun 10 Agustus 1982 oleh Presiden Soeharto. Pada saat itu, ditetapkan bahwa nilai dasar IHSG berada di level 100 dengan jumlah 13 perusahaan terdaftar. Dan seiring berjalannya waktu, dengan meningkatnya kinerja emiten serta semakin maraknya perusahaan-perusahaan yang melakukan Go Public, pada penutupan tahun 2019, IHSG berhasil ditutup pada level 6299,5, atau naik lebih dari 6.000% (ekuivalen ±12%/tahun) sejak awal berdirinya. Neverthless, jika kita mau lebih konservatif, yakni perbandingannya memakai penutupan IHSG pada bulan September 2020, maka kenaikan rata-ratanya masih cukup memuaskan, yakni di kisaran 11%/tahun.

And yeap, data di atas dapat menjadi acuan atau minimal ekspektasi awal kita, ketika hendak berinvestasi saham. Bahwa secara rata-rata dalam jangka panjang, imbal hasil dari investasi saham, kurang lebih berada di angka 11-12%. Dan umpama teman-teman berinvestasi di saham-saham yang rajin membagikan dividen, return-nya mungkin bisa mencapai 14-15%/tahun. Namun demikian, perlu dipahami bahwa imbal hasil tersebut, bukan artinya kita akan mendapatkan keuntungan ‘pasti’ setiap tahunnya sebesar 12%. Melainkan hanya rata-rata pertumbuhan IHSG setiap tahunnya dalam jangka yang sangaaattt panjaaaang, alias 38 tahun. Di mana hal ini sudah menghitung penurunan ekstrem IHSG (market crash) yang dapat terjadi sewaktu-waktu, misalnya pada tahun 1998 (krisis moneter dan politik), 2008 (subprime mortgage) hingga yang terbaru pada bulan Maret 2020 kemarin (Pandemi Covid-19). Sehingga kita dapat menyimpulkan 2 hal: 1. Bagi teman-teman yang tidak sanggup mengabaikan fluktuasi pasar, maka akan lebih bijak untuk memilih instrumen investasi yang kinerjanya lebih stabil. Dan 2. Berinvestasi saham, tidak dapat menggunakan uang panas, idealnya dana yang dialokasikan harus siap untuk disimpan 3-5 tahun kedepan.

Selanjutnya, perlu diketahui bahwa, kita tidak dapat menduplikasi persis pergerakan IHSG. Karena secara teori, apabila kita ‘kekeuh’ ingin benar-benar mengikuti pergerakan IHSG, teman-teman wajib membeli lebih dari 700 perusahaan yang saat ini terdaftar di BEI, dengan alokasi bobotnya masing-masing. Dan kendalanya adalah, meskipun teman-teman memiliki modal yang sangat besar, belum tentu semua saham cukup likuid untuk dapat kita transaksikan. Actually, ada satu cara mudah untuk memiliki portfolio yang kinerjanya menyerupai pergerakan IHSG, yakni membeli reksa dana indeks. Tetapi biasanya, imbal hasil bersihnya sedikit lebih rendah dibandingkan pertumbuhan indeks, karena adanya fee management.

Optimum Return

Okey Pak Zomi kita sudah bahas ekspektasi yang cukup rasional dalam berinvestasi saham. Pertanyaannya sekarang, apakah ada cara supaya kita bisa mendapatkan return investasi yang lebih tinggi dibandingkan kenaikan IHSG? Nah, jawabannya tentu saja ada, dan saat ini banyak sekali buku-buku yang menawarkan strategi atau formula untuk memaksimalkan keuntungan melalui pasar modal. Namun demikian, secara garis besar ada 3 cara, supaya kinerja portfolio kita dapat mengungguli kinerja IHSG:

Pergerakan IHSG 2007 – 2020. Sumber: finance.yahoo.com
  1. Pertama, teman-teman bisa membeli reksa dana indeks ketika IHSG terkoreksi dalam, yakni seperti pada tahun 2008 atau 2015 (lingkaran oranye gambar di atas). Strateginya, karena kita atau siapapun itu tidak mungkin mengetahui titik terendah/lowest point yang akan dicapai pasar, maka opsi terbaiknya adalah selalu menyiapkan peluru cadangan dan mengakumulasi secara bertahap. Di mana semakin besar penurunan IHSG, maka alokasi pembeliannya semakin ditingkatkan, misalnya ketika IHSG drop 10%, kita menggunakan 5% cash terlebih dahulu. Selanjutnya jika IHSG penurunannya tembus 20%, kita bisa menggunakan 10% cash atau mungkin lebih dari itu.
  2. Kedua, mengakumulasi saham-saham blue chip dengan fundamental superior, yang mengalami penurunan harga yang signifikan (>30%). Karena sejatinya 10 saham dengan nilai kapitalisasi pasar terbesar di bursa, sudah meng-cover lebih dari 50% bobot IHSG, sehingga pengaruhnya cukup dominan. Oh ya, dalam pengaplikasian metode ke-2 ini, alangkah baiknya jika kita sudah memahami 3 rasio berikut: Return on Equity (ROE), Price to Earning (PER), dan Price to Book Value (PBV).
  3. Terakhir, menggunakan teknik/strategi yang teman-teman pahami, bisa mengoptimalkan pertumbuhan portfolio. Nah, dalam mengaplikasikan poin ke-3 ini, kita wajib memahami teknik yang kita gunakan, jadi jangan sekedar ikut-ikutan rekomendasi orang lain saja. Contohnya, apabila teman-teman menggunakan Magic Formula milik Joel Greenblatt, maka kita harus pahami betul dasar penggunaan rasio-rasio yang digunakan, beserta tahapan-tahapannya. It’s your own investment and your own money, nothing to do with others.

So yeap, dari ke-3 poin di atas, poin 1 dan 2, teorinya tidaklah sulit untuk diterapkan. Namun percayalah, pada praktiknya ketika pasar benar-benar terdiskon, contohnya seperti saat ini. Banyak investor yang enggan untuk belanja, atau mungkin sebagian malah melakukan panic selling, mengantisipasi adanya koreksi lebih lanjut (yang sebetulnya tidak pernah ada orang yang mengetahuinya). Jadi bukannya, buying low and selling high, banyak investor yang malah melakukan buying high and then selling very low. Dalam hal ini penulis jadi teringat apa yang dikatakan Buffett, ‘the most important thing for investors is temperament not intellect’.

 

Okeyy, artikelnya saya akhiri sampai di sini. Semoga teman-teman pembaca mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan dapat membuka wawasan kita dalam berinvestasi lebih luas lagi. Wishing you a good luck and happy investing guys!

 

Return expectations must be reasonable. Anything else will get you into trouble, usually through the acceptance of greater risk than is perceived. – Howard Marks

Tagged

About Zomi Wijaya

Fundamentalist, Value Investor
View all posts by Zomi Wijaya →

1 thought on “Rational Expectation

Comments are closed.