Melanjutkan pembahasan artikel sebelumnya, kali ini kita akan kembali menganalisis kualitas manajemen melalui transaksi-transaksi afiliasi dalam sebuah perusahaan. Di mana transaksi afiliasi atau biasa disebut related party transaction ini, dapat menjadi rujukan dalam membedakan manajemen yang baik dan kurang baik.
Sebelum masuk ke pokok inti bahasan, mari kita pahami dulu siapa itu yang dinamakan pihak afiliasi? Mengutip Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, pihak afiliasi adalah:
- Hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal
- Hubungan antara Pihak dengan pegawai, direktur, atau komisaris dari Pihak tersebut
- Hubungan antara 2 (dua) perusahaan di mana terdapat satu atau lebih anggota direksi atau dewan komisaris yang sama
- Hubungan antara peusahaan dengan Pihak, baik langsung maupun tidak langsung, mengendalikan atau dikendalikan oleh perusahaan tersebut
- Hubungan antara 2 (dua) perusahaan yang dikendalikan, baik langsung maupun tidak langsung, oleh Pihak yang sama
- Hubungan antara perusahaan dan pemegang saham utama
Dalam konteks perusahaan terbuka, transaksi afiliasi adalah setiap transaksi yang dilakukan dengan induk usaha, anak usaha, entitas asosiasi, ataupun perusahaan lainnya dengan beneficial owner yang sama. Selain itu, manajemen inti perseroan seperti direksi dan komisaris yang merangkap jabatan di perusahaan lainnya, hingga pemegang saham pengendali beserta anggota keluarganya, turut dianggap sebagai pihak terafiliasi.
Mungkin sebagian dari teman pembaca ada yang penasaran, mengapa transaksi afiliasi dapat menjadi indikasi manajamen yang kurang baik? Jawabannya, dikarenakan transaski afiliasi sangat sarat dengan benturan kepentingan (conflict of interest), yang memungkinkan salah satu pihak lebih mengutamakan kepentingan pribadinya, dibandingkan para stakeholders lainnya. Baik dilakukan secara sadar maupun tidak sadar.
Sebagai contoh, katakanlah tuan A memiliki sebuah perusahaan coffee shop yang telah go public dengan kepemilikan saham 60%, sedangkan 40% sisanya dipegang oleh masyarakat. Kemudian dalam operasionalnya sehari-hari, coffee shop tersebut mengambil bahan baku kopi dari perusahaan terafiliasi lainnya yang dimiliki 100% oleh Tuan A. Teman-teman dapat bayangkan, hal ini membuka peluang Tuan A untuk memindahkan keuntungan dari perusahaan coffee shop-nya ke perusahaan penyedia bahan baku. Hal ini dikarenakan, apabila perusahaan bahan baku tersebut membukukan keuntungan, seluruhnya dinikmati oleh Tuan A. Sedangkan setiap rupiah keuntungan coffee shop yang telah go public, wajib dibagi rata dengan pemegang saham publik.
Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa bagi perusahaan dengan skala ekonomi yang besar, terutama tergabung dalam konglomerasi tertentu, sangatlah umum terjadinya transaksi dengan pihak afiliasi. Dan di sinilah tugas kita menyortir apakah transaksi yang dilakukan perusahaan dalam batas wajar atau tidak. So, mari kita masuk ke tiga studi kasus mengenai transaksi afiliasi dalam sebuah perusahaan:
1. Perdana Gapura Prima (GPRA)
GPRA, adalah salah satu perusahaan pengembang properti terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Dan apabila teman-teman mencermati Laporan Keuangan (LK) tahun 2023 perseroan, kita akan mendapati pos piutang pihak berelasi yang besarannya cukup signifikan, sekitar 120 miliar atau 6% dari total aset perusahaan yang mencapai hampir 2 triliun. Well, pertanyaannya apakah transaksi tersebut bisa dikatakan wajar?
Pada catatan kakinya, GPRA tidak menjelaskan lebih rinci maksud dan tujuan dari piutang tersebut. Namun berdasarkan informasi yang disampaikan, seluruh piutang terafiliasi tersebut tidaklah dikenakan bunga, kecuali untuk Koperasi Gapura Sejahtera Mandiri. Tidak sulit menyimpulkan bahwa transaksi ini merugikan pemegang saham publik. Seandainya manajemen mengalokasikan dana tersebut untuk mengurangi hutang perusahaan ke bank, katakanlah dengan bunga 10%. Dengan hitung-hitungan kasar, perusahaan dapat melakukan efisiensi sebesar 10 miliar dalam setahun. Yeap, bukan nominal yang kecil, mengingat laba GPRA di tahun 2023 yang hanya sebesar 89 miliar.
2. Tunas Baru Lampung (TBLA)
Berikutnya kita akan mencermati kewajaran transaksi afiliasi dari piutang usaha TBLA, melalui arms-length principle. Di mana pada LK 2023-nya, teman pembaca dapat melihat bahwa terdapat piutang pihak berelasi perusahaan yang sebesar 2,7 triliun, berbanding dengan piutang usaha pihak ketiga yang sebesar 1,2 triliun.
Kemudian, salah satu metode untuk mengukur wajar atau tidaknya transaksi di atas, teman-teman dapat membandingkan periode penagihan masing-masing piutang TBLA, antara pihak berelasi dan pihak ketiganya (rumus: piutang usaha / penjualan x 360 hari). Singkat cerita, didapatkanlah hasil sebagai berikut:
Berdasarkan data yang telah diolah, kita dapat menemukan bahwa periode penagihan piutang terhadap pihak berelasi relatif lebih lama, berkisar antara 118 hari – 137 hari, berbanding dengan penagihan piutang pihak ketiga yang kisarannya 33 hari – 56 hari. Berdasarkan metode arms-lenth principles yang versi penulis rule of thumb-nya plus minus 10%, maka hal di atas dapat disebut anomali. Karena selisih periode penagihannya bisa tiga kali lipat lebih lama untuk pihak berelasi.
3. Media Nusantara Citra (MNCN)
Studi kasus terakhir adalah mengenai MNCN, salah satu perusahaan media terbesar di Indonesia. Sebelum membahas transaksi afiliasi perseroan, mari kita simak terlebih dahulu sekilas fundamental MNCN berdasarkan data yang disajikan pada LK 2023 perseroan:
- Aset: 23 triliun
- Kas dan setara kas: 1,3 triliun
- Liabilitas: 1,8 triliun
- Ekuitas: 20 triliun
- Laba: 1 triliun
- Arus kas operasi: 1,2 triliun
Berdasarkan data di atas, penulis menyimpulkan bahwa permodalan perusahaan sangatlah kuat, debt to equity ratio (DER) 0,1x, labanya 1 triliun, arus kas operasi positif, dan posisi total liabilitas yang 1,8 triliun tidak terlalu signifikan nilainya dibandingkan kas dan setara kas perusahaan yang sebesar 1,3 triliun.
Akan tetapi, terdapat satu hal menarik dari LK MNCN yang menginformasikan bahwa terdapat hutang bank jangka pendek dengan total 908 miliar yang diberikan oleh lima bank di Indonesia. Yang jika dirinci, detailnya adalah seperti berikut:
- Bank Sinarmas (BSIM) – 400 miliar, bunga 12%/tahun
- Bank Mayapada (MAYA) – 325 miliar, bunga 14%/tahun
- Bank MNC Internasional (BABP) – 123,4 miliar, bunga 10,5%/tahun
- Bank Nationalnobu (NOBU) – 50 miliar, bunga 9,75%/tahun
- Bank Central Asia (BBCA) – 9,9 miliar, bunga 9,5%/tahun
Nah, apakah teman pembaca menemukan keanehan dari transaksi di atas? Well, penulis merasa bingung dengan perhitungan bunga dari tiap bank di atas. Mengapa MNCN mengambil hutang dengan nominal besar ke MAYA, yang notabene bunganya paling tinggi? Karena logikanya, dengan fundamental perusahaan yang kuat, harusnya MNCN mampu mengambil kredit dari BBCA, NOBU ataupun BABP yang relatif memberikan fasilitas bunga lebih rendah. Oh iya, dalam hal ini penulis menganggap hutang MNCN ke BABP relatif wajar, karena keduanya sama-sama perusahaan terbuka yang sebagian sahamnya dimiliki publik.
Hitung-hitung sederhana, andaikata manajemen memindahkan hutang 325 miliar dari MAYA (bunga 14%) ke BABP (bunga 10,5%). Maka MNCN mampu melakukan penghematam 11 miliar. Dan betul, nilainya memang relatif tidak material dibandingkan laba perusahaan yang 1 triliun. Namun meminjam kata-kata Benjamin Franklin, ‘beware of little expenses, a small leak will sink a great ship’. True?
.
Okey, artikelnya kita akhiri dulu sampai di sini. Besar harapan tulisan di atas dapat meningkatkan literasi investasi bagi teman-teman pembaca semua. Sampai jumpa di artikel berikutnya. Good luck and happy investing!
.
“At Berkshire, we believe in Charlie’s dictum – “Just tell me the bad news; the good news will take care of itself” – and that is the behavior we expect of our managers when they are reporting to us.” – Warren Buffett