Life as a Value Investor

Productive Assets – Intelligent Investing

Umumnya orang mendefinisikan investasi sebagai proses menanam aset (uang, obligasi, dan lain-lain), dengan harapan mendapatkan aset yang lebih banyak di masa yang akan datang. Sehingga banyak orang yang mengukur risiko investasi dari naik-turun nilai investasinya.

Buffett memiliki pandangan yang berbeda, Ia mendefinisikan bahwa “Investing as the transfer to others of purchasing power now with the reasoned expectation of receiving more purchasing power in the future”. Menurutnya risiko investasi, tidak diukur berdasarkan kenaikan ataupun penurunan harganya. Aset bisa memiliki harga yang fluktuatif tetapi tidak berisiko, selama aset tersebut dapat meningkatkan daya beli (purchasing power) kedepannya. Hal ini akan coba saya jelaskan pada bagian akhir artikel ini. Sebelum itu, saya akan menjelaskan tentang 3 macam kategori investasi:

Data Return Investasi Tahun 2006-2015 Source: Bursa Efek Indonesia

 

Investasi yang berlandaskan mata uang

Contoh dari investasi ini adalah deposito, obligasi dan lain-lain. Banyak yang mengatakan bahwa investasi jenis ini adalah investasi yang paling aman, kenyataannya ini adalah jenis aset yang paling berisiko.

Apabila teman-teman berinvestasi pada instrumen deposito dengan bunga katakanlah 7,4% dengan inflasi sebesar 6,1%. Sebetulnya secara nilai, uang kita tidak bertambah ataupun malah berkurang! Karena teman-teman juga perlu ingat bahwa ada biaya pajak dari bunga deposito, yaitu sebesar 20%. Sehingga imbal hasil bersih yang teman-teman dapatkan dengan bunga 7,4%, hanya sekitar 5,9% (lebih kecil dibandingkan inflasi). Hingga saat ini saya tidak pernah mendengar ada orang menjadi kaya dengan deposito ataupun obligasi.. hehehe.. oh ya untuk informasi pajak untuk deposito adalah 20%, sedangkan untuk obligasi sebesar 15%.

Nilai rupiah sendiri sudah melemah sebesar 97% semenjak tahun 1971, dari level 378 sampai hampir menyentuh level 15.000 hingga saat ini. Well, kita tahu bahwa rupiah dalam jangka panjang terus melemah terhadap dollar akibat yang namanya inflasi kita yang tinggi. Pertanyaan selanjutnya, apakah sebaiknya kita menabung lewat dollar saja, toh inflasi disana lebih kecil dibandingkan Indonesia? Saya punya dua alasan kenapa sebaiknya kita tidak melakukan hal tersebut. Pertama, sama seperti rupiah, dollar sudah melemah sebesar 86% semenjak tahun 1965. Kedua, ketika kita berinvestasi dollar, kita berharap yang buruk-buruk terjadi kepada Indonesia. Kesimpulannya, jenis investasi ini tidaklah menguntungkan dalam jangka waktu yang panjang dan sepertinya sangat tidak bijak, jika kita berharap Indonesia krisis atau semacamnya.

 

Investasi pada aset yang tidak produktif

Ciri investasi yang tidak produktif adalah mengharapkan orang lain untuk membeli aset yang tidak produktif ini pada harga yang lebih mahal di masa yang akan datang. Biasanya kenaikan harga jenis aset ini disebabkan oleh rasa takut (fearful) atau ketidakpastian (uncertainty).

Salah satu contoh utama dari investasi jenis ini adalah Emas yang banyak dianggap sebagai safe haven. Dalam jangka panjang juga investasi emas tidak menguntungkan, dimana dari data di atas kita bisa melihat bahwa imbal hasil emas hanya sedikit lebih unggul dibandingkan deposito dalam 10 tahun terakhir. Kenapa aset ini dikatakan tidak produktif? alasannya sangat simple, ketika kita membeli emas 1 gram pada hari ini, maka jumlah emas tersebut masih akan tetap sama 1 tahun ataupun 100 tahun kedepan (kecuali anda ngepet, maka saya jamin emasnya ga akan nambah).

Salah satu kejadian bubble yang pernah terjadi karena jenis investasi kedua ini adalah ‘Tulip Mania’, yang disebabkan karena… sebuah… bunga tulip… Saya pribadi kurang mengerti secara detail bagaimana bubble ini bisa terjadi, tetapi kurang lebih kisahnya terjadi pada abad ke 17. Dimana harga tulip terus naik hingga menyebabkan euphoria sampai-sampai banyak orang menjual aset produktifnya seperti ladang ternak hanya untuk menukarnya dengan tulip. Hingga akhirnya benar kata pepatah, bahwa “What the wise man does in the beginning, the fool does in the end.”  Ketika harga tulip menyentuh $60, hanya dalam beberapa hari harganya turun -99,6%. Kesimpulannya, saya juga tidak merekomendasikan jenis investasi ini. Hmm.. What do you think about bitcoin? 🙂 

 

Investasi pada aset yang produktif

Contoh dari aset produktif ini adalah ladang perkebunan, peternakan, real estates dan bisnis. Oh ya, ketika kita membeli saham perusahaan-perusahaan perkebunan, manufaktur, consumer goods dan sebagainya berarti kita juga telah berinvestasi pada aset yang produktif.

Idealnya, aset jenis ini memiliki kemampuan untuk bertahan dalam periode inflasi untuk mempertahankan produktifitasnya dengan cara melakukan re-investment atau perusahaan-perusahaan menganggarkan belanja modal yang biasa dikenal dengan istilah capital expenditure (capex). Entah nanti yang di pakai mata uang rupiah, dollar, emas, kerang atau apapun, orang-orang akan tetap menyisihkan gajinya untuk membeli jamu sido muncul (SIDO), pepsodent (UNVR), mengkonsumsi indomie (ICBP) dan lain-lain. Kedepannya Indonesia juga akan diuntungkan dengan meningkatnya populasi dan usia produktif (move more goods, consume more food, required more living space), dimana hal tersebut akan meningkatkan ekonomi Indonesia. So yeap in my view, the future is so bright guys! 🙂

Dari data di atas juga kita bisa melihat bahwa investasi saham memiliki imbal hasil yang tertinggi, yaitu sebesar 17,76% secara rata-rata dalam 10 tahun terakhir. Bagaimana jika kita mengambil jangka waktu yang lebih panjang?

IHSG berada pada level 100 pada tahun 1982 dan sudah menjadi 6.340 pada akhir tahun 2017 kemarin. Berarti IHSG sudah meningkat sebanyak 63x lipat atau 6.240% dalam waktu 35 tahun. Hal tersebut belum memperhitungkan jika kita berinvestasi pada saham-saham yang memiliki imbal hasil jauh lebih tinggi dibandingkan IHSG. Salah satu contohnya adalah perusahaan Unilever Indonesia (UNVR) yang sudah meningkat sekitar 2.200 kali (tumbuh 25% per tahun dan belum termasuk dividen), semenjak IPO 35 tahun yang lalu. In the end, saya rasa ga usah jelasin lebih lanjut lagi, teman-teman sudah bisa membandingkan sendiri mana investasi yang terbaik 🙂

 

Thank you untuk teman-teman yang telah membaca artikel saya. Artikel ini terinspirasi oleh Annual Report Berkshire Hathaway pada tahun 2011 yang ditulis oleh Warren Buffett. Semoga artikel ini bisa memberikan ilmu yang bermanfaat untuk teman-teman semua. See you guys dalam artikel saya selanjutnya! Mohon maap kalau ada kesalahan dalam penulisan di artikel ini. Adios amigos, Goodluck and Happy Investing Always! 🙂

 

 

“The best thing a human being can do is to help another human being know more.” — Charlie Munger

Tagged , ,

About Zomi Wijaya

Fundamentalist, Value Investor
View all posts by Zomi Wijaya →

2 thoughts on “Productive Assets – Intelligent Investing

  1. Pak, dalam berinvestasi apakah kita harus ada diferensiasi? Jadi misalkan saya ada investasi di deposito untuk jangka pendek, obligasi, dan saham untuk jgka pnjang, menurut pak Zomi presentase tepat pembagian investasi yg baik gmn pak? Terima kasih pak!

    1. Saya merekomendasikan untuk fokus pada 1 jenis instrumen investasi saja bu.

      Biasanya ketika kita berinvestasi saham, maka kita juga perlu menyiapkan cash idealnya sekitar 15% atau disesuaikan dengan kondisi market. Sedangkan sisanya dalam bentuk aset produktif, yaitu saham.

      Apabila ibu baru mempelajari saham, sebaiknya mulai dengan dana minimal dulu. Tujuan utamanya untuk mendapatkan ilmu dan pengalaman dulu. Seiring berjalannya waktu, ibu bisa menambah alokasi dananya.

Comments are closed.