Stock Analysis

Absolute Vs Relative Value – Harum Energy (HRUM)

Ketika dulu penulis mengikuti sertifikasi Pasar Modal untuk menjadi Manajer Investasi, banyak sekali metode-metode yang diajarkan untuk menghitung nilai/value sebuah saham. Nah, beberapa yang saya ingat namanya adalah Dividend Discount Model, Discounted Cash Flow sampai EV/EBITDA, yang kalau kata Charlie Munger nama lain dari bullsh*t earnings.. Hehe.. Well, di artikel ini saya tidak akan membahas rumus canggih tersebut, karena saya pribadi tidak pernah menggunakannya. Sebaliknya kita akan membahas 2 metode sederhana, untuk menghitung value sebuah saham yang sudah terbukti efektif membuat Value Investor meraih kinerja yang memuaskan/beat the market. Yeap, kedua metode tersebut bernama Absolute dan Relative Value, mari kita mulai!

Absolute Value

Nah, yang dimaksud dengan Absolute Value adalah menganalisa nilai perusahaan secara mutlak, berdasarkan aset yang dimiliki serta kemampuan emiten mencetak uang. Jadi dalam menggunakan metode ini, kita hanya fokus menganalisa perusahaan tersebut saja. Thus, dalam menghitung Absolute Value ada 2 pertanyaan yang harus kita jawab:

  1. Apabila kita membeli saham X di harga 1.000, berapa nilai riil yang kita dapatkan sesungguhnya atau ketika perusahaan tersebut dilikuidasi? Apakah nilainya lebih besar dibandingkan apa yang kita bayar? Kalau jawabannya ya, berarti saham tersebut undervalue, apabila sebaliknya berarti harganya overvalued, I wish it was that simple.. hehe. However, perkiraan nilai likuidasi sebuah perusahaan itu tidak sederhana dan tiap investor mungkin punya jawaban yang berbeda-beda karena berbagai macam faktor. Namun demikian, simpelnya kita dapat menggunakan rumus PBV, yang mana ketika saham dihargai pada PBV 0,5x, itu artinya sudah diskon 50% dari nilai bukunya.
  2. Berdasarkan harga yang kita bayarkan saat ini, berapa lama nilai investasi kita akan kembali? Menurut hemat saya, perusahaan yang bagus, punya imbal hasil 2x lipat dari return surat hutang negara (obligasi) dengan rating tertinggi, karena ingat bahwasanya risiko di saham lebih tinggi dibandingkan obligasi. Jadi misalkan yield obligasi Indonesia adalah 8%, maka carilah saham dengan ROE > 16% dan atau PER < 6,5x.

Thus, kalau saham yang hendak kita beli lolos kedua pertanyaan tersebut, berarti secara nilai absolut perusahaan sangat layak dipertimbangkan. Nah, tapi Pak Zomi, mana yang lebih penting antara nilai likuidasi atau payback period yang lebih cepat? Tentunya saya akan menjawab keduanya penting! tapiii kalau harus memilih salah satu, saya akan pilih payback period yang lebih cepat. Kenapa? Kecuali anda ingin langsung menjualnya lagi besok/lusa, maka tentunya kita berharap perusahaan yang kita beli terus bertumbuh dan menjadi mesin pencetak uang, setuju? 🙂 Okey, mari kita lanjut ke:

Relative Value

Jadi, berbeda dengan Absolute yang fokus kepada value tok perusahaan tersebut. Relative Value, mencoba untuk membandingkan valuasi emiten dengan perusahaan sejenisnya/sektornya. Misalnya kita tertarik dengan saham Bank Mandiri (BMRI), alangkah baiknya kalau kita membandingkan kinerja serta valuasi-nya dengan bank-bank besar lainnya, dalam hal ini BBCA, BBRI, BBNI dan BNGA (Bank buku IV). Tapi ingat sekali lagi, kita harus membandingkan dengan perusahaan yang benar-benar sejenis, jangan membandingkan emiten tambang batubara dengan telekomunikasi, misalnya. Atau bahkan kurang tepat juga, kalau kita membandingkan antara BBCA dan BNBA, karena ukuran perusahaan yang sudah jauh berbeda satu sama lainnya.

Dan satu lagi, tidak semua emiten yang lebih baik dibandingkan kompetitornya, berarti layak dibeli. Contoh extreme-nya adalah Air Asia (CMPP) dan Garuda Indonesia (GIAA), yang mana meskipun GIAA kinerja serta valuasinya lebih menarik dibandingkan CMPP, itu belum menandakan bahwa sahamnya sudah layak invest. Oh ya, di samping membandingkan dengan emiten sejenis, kita juga bisa membandingkan dengan data historical kinerja saham-nya, misalnya dengan menggunakan PE Band, PBV Band dan EPS Stock Price, tapi cara ini hanya tepat untuk saham-saham bluechip yang kinerjanya stabil saja, dan tidak tepat untuk emiten yang kinerjanya amburadul atau gorengan. Selebihnya akan dijelaskan pada study case dibawah, tetapi sebelum kita ada 1 pertanyaan yang perlu kita jawab:

Mana yang lebih penting antara Absolute dan Relative Value? Jawabannya Absolute Value jauh lebih penting. Tetapi bukan berarti Relative Value tidak berguna atau menyesatkan, melainkan tetap bisa menjadi supporting analysis, sebelum kita membeli saham, yang tujuannya memberikan gambaran secara lebih luas terhadap sebuah perusahaan.  And yeap, ga usah ngomong panjang lebar lagi, mari kita coba menggunakan 2 metode di atas untuk menganalisa saham yang sedang wangi, yaitu:

Harum Energy (HRUM)

Biasanya teknik saya menganalisa adalah bottom-up, yang mana dimulai dari Absolute Value terlebih dahulu. Tapi supaya analisanya lebih terstruktur, pembahasannya akan dimulai dari relative analysis:

Berdasarkan LK Q1-2019, dan khusus ITMG menggunakan LK Q4-2018, diolah dalam Miliar

Nah, apabila kita bandingkan data di atas, maka kita dapat menyimpulkan beberapa hal:

Pertama, valuasi HRUM secara PBV hanya 0,7x atau relatif murah dibandingkan emiten pertambangan lainnya, terutama kalau kita bandingkan dengan PTBA yang PBV-nya mencapai level 2,1x. Kedua, HRUM juga memiliki hutang yang paling kecil dan kalau kita telisik lebih dalam lagi, emiten tidak memiliki hutang yang berbunga. Dan terakhir, meskipun kinerjanya bukan yang terbaik, tetapi bukan yang terburuk juga, bahkan kalau kita bandingkan dengan emiten batu-bara secara keseluruhan (selain Big Player di atas), maka sudah banyak yang membukukan kerugian, padahal harga batu-bara masih jauhlah dari titik nadirnya, seperti tahun 2015.

Selanjutnya, kita coba melihat data historical kinerja dan harga saham HRUM, yang mana saya akan menggunakan metode PBVBD dan EPS Stock Price:

Source: www.stockbit.com

Berdasarkan data PBVBD di atas, maka valuasi HRUM saat ini relatif murah dibandingkan historical-nya, di mana harganya dulu dihargai pada PBV 2,5x, dan rata-rata diperdagangkan dengan PBV 1,23x. Dan sedikit informasi tambahan, apakah teman-teman tahu, berapa harga tertinggi HRUM ketika dulu booming batu-bara? Exactly, harganya pernah mencapai level 10,700, dan itu artinya harga sekarang hanya 1/10 harga tertingginya zaman baheula. Next, kita lihat EPS to Stock Price-nya:

source: www.stockbit.com

Nah, jadi gambar di atas merupakan kombinasi pergerakan harga emiten dan laba bersih/EPS-nya. Kenapa kita coba membandingkan pergerakan harga dengan labanya? Berdasarkan pengalaman, pemicu utama pergerakan harga saham adalah laba perusahaan, atau setidaknya ekspektasi investor terhadap laba emiten kedepannya, karena itu biasanya pergerakan harga dan EPS sering kali seirama. Dan dari gambar di atas, kita dapat menyimpulkan 1 hal: penurunan harga HRUM sudah melebihi penurunan laba/EPS-nya, alias pasar sudah overreacted. Meskipun, ini juga mungkin karena ekspektasi pasar, bahwa harga batu-bara masih mungkin turun kedepannya, yang mana kalau hal itu terjadi, maka laba HRUM juga akan turun dan otomatis harga sahamnya juga sulit untuk naik. Hmm, okey secara relative mungkin HRUM menarik, tapi bagaimana secara absolute?

Dalam menganalisa Absolute Valuation, kita dapat menyimpulkan bahwa PBV HRUM yang kurang dari 1x itu cukup murah. Namun demikian, ada satu hal lagi yang membuat sahamnya sangat-sangat-sangat menarik, yakni emiten punya cash/uang tunai senilai 3,24T dengan hutang yang minim. Sedangkan pasar hanya menghargai sahamnya 3,22 T saja, atau dengan kata lain, kita cukup membayar 1,255 Rupiah untuk mendapatkan uang tunai sekitar 1,263 Rupiah, tanpa menghitung cadangan batu-bara beserta aset-aset perusahaan lainnya. Well, menarik or menarik banget ya? 🙂

However, kita sudah banyak berbicara hal-hal baik mengenai HRUM, bagaimana risikonya? Yup, seandainya besok-besok harga batu-bara Dunia turun terus, katakanlah ke level $50/mt, maka otomatis sahamnya juga akan turun lebih dalam lagi, karena saham murah bukan berarti tidak bisa lebih murah lagi. Thus, sejujurnya saya sudah menghindari saham batu-bara, semenjak harga batubara newcastle menembus level $100/mt (penjelasannya dapat dibaca di sini: http://zomiwijaya.com/the-nature-of-commodity-business-commodities-sector-buy-on-optimism-sell-in-pesimism/), tapi kalau ada peluang seperti ini, saya jadi mikir-mikir lagi.. hehehe…

Oh ya, sedikit informasi. Rencananya tanggal 16 Mei 2019 besok, HRUM akan menyelenggarakan RUPS tahunan, termasuk tentang kebijakan dividen perusahaan. Dan kalau emiten membagikan DPR sebanyak 75% (tahun lalu DPR-nya lebih dari 100%), maka yieldnya sekitar 10%. Actually, kita tidak tahu kebijakan manajemen seperti apa, karena bisa saja emiten tidak membagikan dividen sama sekali, who knows btw? 🙂

 

In the end, artikelnya saya akhiri sampai di sini. Semoga artikel ini bermanfaat untuk seluruh teman pembaca, dan saya sangat terbuka apabila ada masukan terkait analisa di atas. Terima kasih juga untuk Pak Teguh, karena ide yang saya tulis tidak lepas dari masukan beliau, dan juga kepada Pak Kalvin yang dulu, pertama kali mengajarkan cara menggunakan historical data seperti PEBD, PBVBD dan sebagainya. Last but not least, seluruh tulisan di atas bertujuan untuk sharing cara menganalisa fundamental dan bukan ajakan untuk membeli saham-saham tertentu. Disclaimer is always on and do your own research, adios amigos. Goodluck and Happy Investing Guys! 🙂

 

I try to buy Dollar for 60 cents, and if I think I can get that, then I don’t worry to much about when. – Warren Buffett

Tagged

About Zomi Wijaya

Fundamentalist, Value Investor
View all posts by Zomi Wijaya →

5 thoughts on “Absolute Vs Relative Value – Harum Energy (HRUM)

  1. Menarik sekali pak zomi, thanks for sharing. Agar lebih bermanfaat, kiranya bisa membuat artikel tutorial untuk menggunakan tool valuasi yg ada di stockbit.

    1. Salam Pak Budi,

      Untuk tool valuasi tersebut, lebih tepat ditanyakan langsung kepada tim stockbit. Dan kalau tidak salah, stockbit juga menyediakan e-book yang menjelaskan secara rinci menggunakan fitur-fitur yang disediakan.

      Semoga membantu,

  2. Saya selalu mengikuti setiap artikel dari blog pak zomi, sangat menarik sekali. Mungkin kedepan pak zomi bisa sharing cara screening dari 600 lebih saham yang terdaftar di IDX, tentu untuk pemula seperti saya ini akan sangat membantu sekali. Thanks

  3. Kak zomi, mau tanya, kenapa metode seperti Discounted Cash Flow dibilang nya bullshit earnings ya? Selama ini saya kira metode valuasi dengan menggunakan DCF adalah salah satu metode valuasi yang cukup akurat.

    1. Salam Felix,

      Dari artikel di atas yang disampaikan oleh Charlie Munger lebih ke formula EBITDA. Di mana metrik ini menghitung laba sebelum beban bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi, sehingga umumnya emiten yang rugi terlihat untung menggunakan formula EBITDA. Padahal sejatinya, beban bunga, pajak, depresiasi hingga amortisasi merupakan biaya riil yang memang harus diperhitungkan dalam menganalisa kemampuan perusahaan mencetak uang.

      Dan terkait DCF, mempertimbangkan keefektifan dan keefisienan metode tersebut, saya tidak pernah menggunakannya dalam menganalisa saham.

      Semoga membantu

Comments are closed.