Fundamental Analysis

Digging the Asset – Estimating Real Value Insurance Companies

Apabila teman pembaca ditanya saham yang berada di industri keuangan, umumnya hal pertama yang terlintas di kepala, adalah perusahaan-perusahaan besar di sektor perbankan, seperti BBCA, BBRI, atau BMRI. Dan baru setelah itu, mungkin terpikirkan perusahaan di Industri Keuangan Non-Bank (IKNB), seperti perusahaan pembiayaan atau asuransi. Well, hal ini sebetulnya cukup lumrah, dikarenakan total aset IKNB dari industri asuransi, pembiayaan, dana pensiun, beserta seluruh lembaga keuangan lainnya, hanya mencapai 2.600 triliun, relatif kecil dibandingkan aset perbankan nasional yang nilainya, lebih dari 9.000 triliun.

Namun demikian, karena kekurang populerannya inilah, Mr. Market sering kali menawarkan peluang investasi yang menarik. Dan tentunya, kesempatan tersebut akan terlewat, jika kita belum memahami bisnisnya, atau dalam hal ini di luar lingkar kompetisi yang dimiliki. So yeap, jika di artikel sebelumnya kita sudah berulang kali membahas sektor perbankan, juga pernah menganalisis saham di industri pembiayaan. Kali ini kita akan mengulas sektor asuransi, yang mudah-mudahan bisa meningkatkan literasi teman pembaca semua. Okey, mari kita mulai:

Industri Asuransi

Berdasarkan investopedia, tonggak sejarah perasuransian sudah dimulai sejak era sebelum masehi, tepatnya pada zaman kekaisaran Babilonia. Di mana terdapat bukti semacam polis asuransi yang bernama “The Hammurabi Code”, yang menyatakan para pedagang di Babilonia perlu membayar lebih ketika mereka hendak mengambil hutang, di mana biaya lebih tersebut sebagai jaminan (loan forgiveness), seandainya pedagang tersebut tidak mampu memenuhi kewajibannya di kemudian hari, yang bisa disebabakan karena berbagai macam hal, seperti bencana, pencurian oleh perompak, dan lain sebagainya. Setelah itu, sejarah asuransi juga ditemukan di Yunani dan Romawi, dan terus berkembang di Era Modern, dari Eropa, Amerika, hingga akhirnya Indonesia, yang dipercayai pertama kali di bawa oleh Belanda, pada zaman penjajahan dulu.

AAJI, induk organisasi industri asuransi jiwa di Indonesia

Nah, hemat penulis, jasa atau layanan industri asuransi merupakan win-win solution, baik untuk perusahaan yang menawarakannya (dengan catatan dikelola dengan benar), maupun para nasabahnya, dalam hal ini masyarakat luas terutama dalam menghadapi kejadian-kejadian ‘low-probability, high-impact event’. Mari kita simak contoh berikut:

Belakangan ini, tepatnya sejak awal bulan Juli. Indonesia menghadapi laju kenaikan kasus Covid-19 yang signifikan. Di mana total kasusnya, sudah mencapai 2,5 juta kasus dengan tingkat kematian sebanyak 64 ribu orang. Dan itu artinya, tingkat mortalitas akibat pandemi Covid, sekitar 2,5% (64 ribu/ 2,5 juta). Actually, angka 2,5% terlihat relatif kecil, namun bagaimana jika teman-teman memposisikan diri sebagai seorang tulang punggung keluarga, dengan tanggungan istri dan anak? Meskipun probabilitasnya hanya 2,5%, namun jika seorang kepala keluarga meninggal, hal ini berisiko tinggi terhadap masa depan anggota keluarga lainnya. Dan di sinilah peran perusahaan asuransi, yang dibantu oleh aktuaria, mengkalkulasi bahwa dengan 2,5% tingkat kematian covid, maka seseorang cukup membayar premi 250 ribu sebulan, atau 3 juta setahun kepada perusahaan Asuransi Jiwa, untuk mendapatkan pertanggungan sebesar 100 juta, seandainya kepala keluarga tersebut meninggal. Pertanyaannya, dari mana keuntungan perusahaan asuransi? Kok bayar 250 ribu sebulan, bisa diganti sampai 100 juta?

Yeap, apabila kita berbicara hanya 1 orang saja, memang sangat sulit mengestimasi keuntungan perusahaan. However, sebuah perusahaan asuransi selalu menerapkan yang namanya ‘the law of big numbers‘, dengan mencari nasabah sebanyak-banyaknya, sehingga lebih mudah memprediksi keuntungan kedepannya. Misalkan, jika perusahaan bisa memiliki 1000 nasabah, maka artinya ada 3 miliar premi yang akan diperoleh dalam satu tahun, lalu dengan catatan 2,5% klaim yang harus dibayar, artinya perusahaan tersebut, cukup menyiapkan 2,5 miliar, alias ada surplus/keuntungan 500 juta. Dan di samping itu, proses terjadinya klaim sangat jarang terjadi dalam satu waktu sekaligus, sehingga perusahaan juga bisa memanfaatkan dana premi mengambang, atau istilahnya Warren Buffett ‘float‘, untuk kegiatan investasi. Yang tentunya, jika dikelola dengan baik, akan menghasilkan keuntungan signifikan untuk perusahaan.

Back to topic, hingga kini perusahaan asuransi terus berkembang pesat di Indonesia, dengan jumlah aset keseluruhan mencapai 1.400 triliun. Dan secara garis besar, perusahaan asuransi terbagi menjadi 5 macam, diantaranya:

  1. Asuransi Jiwa & Kesehatan
    • Asuransi yang memberikan jasa penanggulangan risiko, yang memberikan pembayaran kepada pemegang polis, yang disebabkan meninggal dunia, hidup terlalu lama, atau pembayaran lainnya seperti biaya kesehatan, perawatan, dan lainnya, yang diatur dalam perjanjian.
    • Contoh: PNLF, LIFE
  2. Asuransi Umum
    • Asuransi yang memberikan jasa penanggungan risiko, memberikan penggantian kerugian, kerusakan, biaya-biaya, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga atau pemegang polis, karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.
    • Contoh: TUGU, ASRM, ASBI
  3. Reasuransi
    • Perusahaan asuransi, yang memberikan jasa penanggulangan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi jiwa, kesehatan, umum, ataupun perusahaan reasuransi lainnya.
    • Contoh: MREI, PT. Reasuransi Indonesia Utama
  4. Asuransi Sosial
    • Asuransi yang menyediakan jaminan sosial bagi anggota masyarakat yang dibentuk oleh pemerintah, berdasarkan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara pihak asuransi dengan seluruh golongan masyarakat.
    • Contoh: BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan
  5. Asuransi Wajib
    • Asuransi yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan bagi seluruh atau kelompok tertentu dalam masyarakat, guna mendapatkan perlindungan dari risiko tertentu.
    • Contoh: PT. Asabri, PT. Taspen, PT. Jasa Raharja

Kemudian terkait prospeknya, industri asuransi sangat berkorelasi erat dengan pertumbuhan ekonomi, dengan rata-rata kenaikan di atasnya. Hal ini diakibatkan, semakin maju sebuah negara, semakin tinggi pula posisi middle-income class. Dan dengan bertambahnya masyarakat berpenghasilan menengah ke atas, maka semakin banyak harta kekayaan yang perlu diasuransikan, termasuk kesehatannya. Dan percaya atau tidak, psikologi dari orang yang semakin kaya, cenderung semakin takut kehilangan harta yang sudah diperolehnya, sehingga hal ini akan mendorong mereka untuk berasuransi.

Fundamental Analysis

Okey, setelah kita sudah sedikit memahami mengenai industri asuransi, selanjutnya kita akan coba menganalisa fundamental dari saham-saham di sektor ini. Dan berikut adalah tiga poin yang patut teman-teman cermati ketika hendak menganalisis saham yang bergerak di industri asuransi:

  1. Net Underwriting

Layaknya perusahaan perbankan, emiten di sektor asuransi juga memiliki ‘bahasa bisnis’ tersendiri. Untuk itu, mari kita cermati struktur laporan keuangan laba rugi perusahaan asuransi berikut:

Laporan Keuangan ASRM Q4-2020, audited. Kolom Biru Pendapatan Underwriting. Kolom Hijau, Beban Underwriting. Kolom Orange Net Underwriting.

Berbeda dengan perusahaan lainnya secara umum, pendapatan utama perusahaan asuransi berasal dari premi-premi yang dibayar oleh seluruh nasabahnya, dalam hal ini biasa disebut pendapatan premi atau pendapatan underwriting (perhatikan kolom biru). Thus, karena diwajibkan regulasi, pendapatan premi yang diperoleh, harus disetor sebagiannya kepada perusahaan reasuransi, dengan tujuan untuk meminimalisir risiko lebih lanjut. Dan setelah dikurangi biaya reasuransi tersebut, maka akan diperoleh yang namanya pendapatan premi bersih atau bahasa kerennya net premium.

Lalu, jika di biasanya setelah penjualan ada beban pokok penjualan, maka beban utama dari perusahaan asuransi disebut beban underwriting. Di mana klaim nasabah, merupakan beban yang paling utamanya, dikurangi dengan klaim perusahaan terhadap perusahaan reasuransi (perhatikan kolom hijau). Oh ya, jangan lupa juga untuk memperhitungkan beban komisi. Karena supaya perusahaan asuransi bisa memperoleh premi yang besar dan banyak, emiten membutuhkan bantuan dari berbagai macam kanal, seperti bancassurance, keagenan, rekanan leasing, developer, dan lain sebagainya, yang tentunya baru akan memasarkan produk asuransi jika ada ‘feedback‘ yang diberikan.

Formula Net Underwriting

Pada akhirnya, kita akan mendapatkan yang namanya Net Underwriting (perhatikan kolom oranye). Di mana, jika nilai Net Premi masih lebih besar setelah dikurangi klaim dan komisi, maka dinamakan surplus underwriting, alias profit. Sebaliknya, apabila premi yang diperoleh negatif setelah dikurangi klaim dan komisi, maka disebut underwriting defisit, alias boncos. Berdasarkan pengalaman dari beberapa emiten di BEI, mereka sering mengubah letak posisi underwriting, hasil investasi, komisi dan lain sebagainya. Sehingga tugas kita adalah menganalisis penghasilan dari ‘core business‘ perusahaan tersebut.

Oh ya, karena bisnis asuransi ini sifatnya tidak sama semua. Misalnya, ada emiten asuransi umum yang menerbitkan polis terhadap bencana alam yang mungkin hanya terjadi 10 tahun sekali. Maka pada satu periode tertentu, kinerja perusahaan mungkin terlihat tidak bagus. Sehingga dalam hal ini, teman-teman wajib melihat kinerja perusahaan minimal 5 tahun kebelakang. Jika perusahaan 4 dari 5 tahun tersebut net underwriting-nya minus, yasudah, itu cukup untuk menunjukan adanya kesalahan dalam perhitungan aktuarianya, atau memang manajemennya tidak kompeten.

2. Asset Quality

Laporan Keuangan PT. Asuransi Bintang (ASBI) Q4-2020, audited. Kolom Oranye, Macam Aset Investasi ASBI.

Pada poin ke-2, seperti yang sudah disampaikan sebelumnya. Emiten asuransi yang baik, akan memaksimalkan keuntungan perusahaan dengan memanfaatkan kelebihan premi yang telah dibayarkan nasabahnya untuk diinvestasikan terlebih dahulu, sebelum premi tersebut dikembalikan pada proses klaim. Thus, dalam hal ini terdapat berbagai macam instrumen investasi yang bisa dipilih diantaranya: deposito, obligasi, emas, reksa dana, saham, properti, dan instrumen-instrumen investasi lainnya, yang sah sesuai dengan Peraturan Undang-Undang yang berlaku.

Karena itu, teman-teman harus benar-benar mencermati ke mana emiten mengelola aset investasinya. Sebagai contoh, apabila perusahaan menginvestasikan uangnya di saham, kita wajib mencermati saham-saham apa saja yang diinvestasikan. Contoh seperti berikut:

LK Q4-2020, audited Asuransi Maximus Graha Persada (ASMI) dan Asuransi Tugu Pratama Indonesia (TUGU)

Well, bagi teman-teman yang sudah berpengalaman bisa langsung menyimpulkan mana perusahaan yang menginvestasikan uangnya dengan aman, dan mana yang tidak. Tidak hanya dari pemilihan sahamnya, tetapi juga komposisi investasi saham di pihak berelasi yang terlalu besar. Last but not least, teman-teman juga boleh mencermati komposisi aset likuid dibandingkan total asetnya. Dalam hal ini yang termasuk aset likuid adalah, kas, tabungan, deposito, obligasi, saham tertentu dan emas batangan. Lainnya, seperti properti investasi, saham gorengan atau instrumen derivatif kita abaikan, atau harus dianalisa lebih lanjut kembali.

3. Financial Health

Rasio RBC PT. Panin Dai-ichi Life 1.690%. Sumber: Publikasi Laporan Keuangan PT. Panin Dai-ichi Life Q1-2021

Poin terakhir, jika di industri perbankan kita sering memperhatikan rasio yang bernama Capital Adequacy Ratio (CARR/KPMM). Maka di industri asuransi terdapat rasio sejenis, yaitu Risk Based Capital (RBC). Rasio RBC menghitung tingkat solvabilitas perusahaan (aset bersih – seluruh hutang), lalu dibandingkan dengan risiko kerugian yang menaungi aset tersebut. Misalnya: 1. Premi, ada risiko penagihan/tunggakan, 2. Klaim, ada risiko pembayaran lebih awal. 3. Investasi, memiliki risiko pasar dan mata uang.

Nah, rasio minimal yang disarankan oleh OJK minimal 120%. Sehingga jangan sampai kita memilih perusahaan-perusahaan yang rasionya di bawah atau mendekati level tersebut. Untuk rasio RBC, teman-teman bisa memperolehnya dari publikasi laporan keuangan yang disediakan emiten yang bersangkutan. Atau kita bisa juga memperoleh dari sumber-sumber lainnya, seperti berikut:

Data 20 Perusahaan Asuransi Dengan Rasio RBC Tertinggi Tahun 2020. Sumber: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200810212629-78-534263/riset-daftar-20-perusahaan-asuransi-terkuat-pada-2020

Sebetulnya, teman-teman juga bisa menggunakan rasio universal Debt to Equity Ratio (DER) dalam menganalisa kesehatan perusahaan asuransi. Dengan catatan kita sudah menganalisa kualitas asetnya (Poin 2), serta proses penagihan piutangnya juga lancar, maka perusahaan dengan DER < 2x, cukup aman.

Kesimpulan

Pada akhirnya, dengan proses filter ke-3 poin di atas, teman-teman sudah meminimalisir risiko dalam memilih perusahaan asuransi yang memiliki tata kelola yang tidak baik, seperti Jiwasraya, Bakrie Life atau AJB Bumiputera. Loh Pak Zomi, tapi kan perusahaan-perusahaan tersebut tidak mungkin juga kita beli sahamnya? Ya minimal, jika kita hendak mengambil asuransi, kita tidak terjerumus ke perusahaan-perusahaan yang berpotensi gagal bayar. Atau jika teman pembaca memiliki teman, kita bisa menginfokan untuk menghindari perusahaan asuransi dengan tata kelola yang buruk.

Oh ya, jangan lupa. Apabila tugas kita masih belum selesai sampai di sini. Teman-teman masih harus menganalisa valuasi dari saham-saham asuransi yang hendak kita investasikan. Karena itu, pada artikel selanjutnya kita akan mengulas analisa saham asuransi. Mungkin teman-teman ada yang ingin request emiten asuransi yang akan kita bahas nanti?

Baik, sekian artikel kali ini. Semoga teman-teman pembaca mendapatkan ilmu yang bermanfaat dari artikel di atas. Stay safe and healthy guys!

“Develop into a lifelong self-learner through voracious reading; cultivate curiousity and strive to become a little wiser everyday.” – Charlie Munger

Tagged , , , ,

About Zomi Wijaya

Fundamentalist, Value Investor
View all posts by Zomi Wijaya →

2 thoughts on “Digging the Asset – Estimating Real Value Insurance Companies

Comments are closed.